Sabtu, 27 November 2010

Harry Potter and the Deathly hallows: Part 2

Pada akhirnya, kebenaran. Sambil berbaring dengan wajah menekan karpet berdebu di
dalam ruangan yang dianggapnya dulu sebagai tempat yang mengajarkannya rahasia
kemenangan, Harry akhirnya mengerti kalau dia tak semestinya selamat. Tugasnya adalah
melangkah tenang ke dalam pelukan Kematian sekaligus memutuskan hubungan yang masih
tersisa antara Voldemort dengan kehidupan. Maka ketika akhirnya dia melemparkan diri
menghadapi Voldemort dan tidak menghunus tongkatnya untuk membela diri,
kesudahannya akan jelas, dan tugas yang mestinya telah tuntas di Godric’s Hallow akhirnya
akan selesai. Tak seorangpun akan hidup, tak seorangpun akan selamat.
Dia merasakan gemuruh jantung yang berdentam-dentam dalam dadanya. Betapa anehnya,
dalam ketakutannya akan maut jantung itu malah memompa dengan begitu kencangnya,
menjaganya tetap hidup. Tapi jantung itu mesti berhenti, segera. Detaknya tinggal
menghitung waktu. Berapa banyak waktu yang diperlukan, sementara dia bangkit dan
melangkah sepanjang kastil itu untuk terakhir kalinya, untuk berjalan keluar dan pergi
memasuki hutan?
Rasa ngeri mencengkeramnya ketika berbaring di lantai, dan genderang penguburan bertalutalu
dalam jantungnya. Akankah kematian itu menyakitkan? Selama ini dia telah menduga
bahwa itu akan terjadi, dan dia akan selamat, dan tak pernah dia memikirkan tentang
kematian itu sendiri. Kemauannya untuk hidup jauh lebih besar dibanding rasa takut akan
kematian. Namun sekarang tak terpikir olehnya sama sekali untuk mencoba mengelak,
untuk melarikan diri dari Voldemort. Semua sudah berakhir, dia tahu, dan yang tersisa
hanyalah satu hal: mati.
Seandainya saja dia mati di malam musim panas lalu ketika meninggalkan Privet Drive
No.4 untuk terakhir kalinya, ketika tongkat sihir berbulu Phoenix menyelamatkannya!
Seandainya saja dia mati seperti Hedwig, begitu cepat sampai dia tak menyadarinya! Atau
seandainya saja dia melemparkan diri menerima serangan tongkat demi menyelamatkan
orang yang dicintainya…Sekarang dia iri dengan kematian kedua orangtuanya. Langkah
dingin menuju kehancurannya sendiri memerlukan jenis keberanian yang lain. Dirasakannya
jari-jemarinya agak gemetaran dan dia berusaha mengendalikannya meski tak seorangpun
melihat; potret-potret di dinding semua kosong tak berpenghuni.
Dengan amat perlahan dia duduk dan mulai merasa lebih hidup dan lebih sadar akan
tubuhnya dibanding sebelumnya. Kenapa tak pernah dia menghargai betapa dia adalah
sebuah keajaiban, otak dan saraf dan jantung yang berdetak? Semua itu akan berlalu, atau
setidaknya dia akan berlalu dari semua itu. Nafasnya mulai melambat dan dalam, dan mulut
serta tenggorokannya kering sama sekali, tapi begitu pula dengan matanya.
Pengkhianatan Dumbeldore hampir tak ada artinya. Tentu saja telah ada rencana yang lebih
besar; Harry saja yang terlalu bodoh untuk melihatnya, dia baru menyadarinya sekarang.
Tak pernah dia pertanyakan keyakinannya bahwa Dumbledore ingin dia hidup. Sekarang dia
menyadari bahwa rentang umurnya ditentukan oleh seberapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk menghancurkan semua Horcrux. Dumbledore telah meneruskan tugas itu kepadanya,
dan dengan taat dia terus menerus memotong putus tali-tali yang menyokong nyawa, bukan
hanya nyawa Voldemort, tapi nyawanya juga! Betapa rapinya, betapa elegannya, tak lagi
mengorbankan banyak nyawa tapi memberikan tugas berbahaya itu kepada seorang anak
yang selama ini telah dicap untuk disembelih, dan yang kematiannya bukan lagi sebuah
malapetaka, melainkan satu hantaman lagi terhadap Voldemort.
Dan Dumbledore telah tahu bahwa Harry tak akan mengelak, dia akan terus berjalan hingga
kesudahan, meski itu adalah kesudahan bagi dirinya, karena bukankah selama ini
Dumbledore telah bersusah payah untuk mengenalnya? Dumbledore tahu, dan Voldemort
juga, kalau Harry takkan membiarkan orang lain mati demi dia setelah jelas bahwa dialah
yang punya kekuatan untuk menghentikannya. Bayangan Fred, Lupin dan Tonks yang
sedang terbaring mati di Great Hall (Aula Besar) memenuhi pikiran Harry begitu hebatnya
sampai-sampai untuk sejenak dia tak sanggup bernafas. Sungguh Maut tak punya
kesabaran….
Tapi Dumbledore terlalu tinggi menilai Harry. Dia telah gagal: sang ular selamat. Masih ada
satu Horcrux yang menambatkan Voldemort ke bumi, bahkan setelah terbunuhnya Harry.
Memang benar, hal itu akan lebih memudahkan tugas orang berikutnya. Dia mengira-ngira
siapakah orangnya…Ron dan Hermione tentu akan tahu apa yang harus dilakukan…Itulah
sebabnya mengapa Dumbledore ingin Harry mempercayai kedua orang itu….supaya jika dia
menemukan takdirnya lebih dini, mereka akan melanjutkannya.
Bagaikan hujan di jendala yang dingin, semua pikiran ini berdera-derai menghantam
dinding kebenaran, yaitu dia harus mati. Harus mati. Harus berakhir.
Ron dan Hermione terasa jauh sekali, di negara lain di belahan lain bumi; rasanya mereka
sudah berpisah begitu lama. Harry yakin takkan ada salam perpisahan, atau penjelasan. Ini
perjalanan yang tak mungkin mereka lalui bersama, dan upaya mereka untuk
menghentikannya akan menghamburkan waktunya yang berharga. Harry menatap arloji
emas tua hadiah ulang tahun ke-17-nya. Hampir setengah dari waktu yang diberikan
Voldemort baginya untuk menyerah telah habis.
Dia berdiri. Jantungnya masih berdegup kencang. Mungkin jantungnya menyadari kalau
tinggal sedikit waktu baginya, mungkin bertekad untuk menunaikan tugasnya untuk kali
terakhir. Dia tak menoleh ke belakang ketika menutup pintu ruangan itu.
Kastil dalam keadaan kosong. Berjalan sendirian di sana dia merasa seakan-akan sudah
mati. Para penghuni portret di dinding masih belum kembali; kastil itu diam dalam atmosfir
yang membuat merinding, seakan-akan sisa kehidupan tempat itu terpusat di Aula Besar
yang penuh dengan mayat-mayat dan orang-orang yang menangisinya
Harry menyelubungi tubuhnya dengan Jubah Gaib dan turun lantai demi lantai, akhirnya
menuruni anak tangga marmer menuju aula depan. Dia setengah berharap akan dikenali,
terlihat atau dihentikan tapi Jubah itu menutupinya dengan sempurna dan dia sampai ke
pintu depan dengan mudah.
Kemudian Neville hampir saja berjalan melaluinya. Dia bersama seorang lain sedang
menggotong sesosok tubuh. Harry melirik ke bawah dan merasa satu pukulan hebat lagi di
dalam perutnya: Colin Creevey, meskipun masih di bawah umur, pastilah ikut menyelinap
masuk, sebagaimana Malfoy, Crabbe dan Goyle juga. Dia terlihat kurus dalam matinya.
“Rasanya aku bisa menggotongnya sendiri Neville”, kata Oliver Wood, dan memanggul
tubuh Colin di pundaknya meniru cara petugas pemadam kebakaran, dan membawanya
masuk Aula Besar.
Neville bersandar sejenak pada kusen pintu dan menyeka dahinya dengan punggung tangan.
Dia terlihat bagai seorang pria tua. Lalu dia bergerak kembali, melangkah ke kegelapan
untuk mengangkat lebih banyak mayat.
Harry melirik ke belakangnya, ke arah pintu masuk Aula Besar. Orang-orang sibuk bergerak
ke sana kemari, saling menghibur, minum, berlutut di samping jenazah, tapi tak dilihatnya
satupun orang-orang yang dia sayangi, baik Hermione, Ron, Ginny atau anggota keluarga
Weasley lainnya, Luna juga tidak terlihat. Rasanya dia rela menyerahkan sisa waktu yang
dia miliki demi satu kesempatan terakhir memandang mereka, tapi seandainya itu terjadi,
cukup kuatkah dia untuk berhenti memandang? Lebih baik begini.
Dia turuni anak tangga dan keluar menuju kegelapan. Hampir jam 4 pagi, dan keheningan
jalan yang menyeramkan terasa seolah mencengkeram nafasnya, menunggu apakah dia
sanggup melakukan apa yang harus dia lakukan.
Harry bergerak ke arah Neville yang sedang membungkuk di atas mayat lain.
“Neville.”
“Blimey, Harry, kau hampir bikin aku jantungan!”
Harry sudah menarik Jubahnya. Gagasan itu timbul begitu saja dalam pikirannya, lahir dari
keinginpastian.
“Mau kemana sendirian?” tanya Neville curiga.
“Itu bagian dari rencananya”, kata Harry. “Ada yang mesti aku lakukan. Dengar – Neville-“
“Harry!” mendadak Neville ketakutan. “Harry, kau tidak berpikir mau menyerahkan diri
bukan?”
“Tidak”, Harry dengan mudah berbohong. “Tentu saja tidak…ini soal lain. Tapi aku
mungkin akan menghilang sebentar. Kau tahu kan ular milik Voldemort? Dia punya seekor
ular besar. Namanya Nagini…”
“Aku sudah dengar…memangnya kenapa?”
“Ular itu mesti dibunuh. Ron dan Hermione tahu tentang itu, tapi siapa tahu mereka–“
Membayangkan kemungkinan yang mengerikan itu membuat Harry sejenak tercekat,
sampai dia tak sanggup meneruskan kalimatnya. Tapi dia kembali mengendalikan dirinya:
Ini masalah genting, dia haruslah seperti Dumbledore, berkepala dingin, memastikan ada
tenaga cadangan, orang yang melanjutkan. Sebelum meninggal Dumbledore sudah tahu ada
tiga orang yang masih tahu soal Horcrux-horcrux ini; sekarang Neville akan mengambil alih
tempat Harry: jadi akan tetap ada 3 orang yang tahu akan rahasia itu.
“Kalau-kalau mereka – sibuk – dan kau punya kesempatan-“ “Membunuh ular itu?”
“Membunuh ular itu”, ulang Harry.
“Baiklah Harry. Kau baik-baik saja kan?”
“Aku baik-baik saja. Makasih Neville”
Tapi Neville mencekal tangan Harry ketika dia hendak beranjak.
“Kami semua akan terus berjuang, Harry. Kau tahu kan?”
“Yah, aku –“
Perasaan tercekik melenyapkan akhir kalimat itu; dia tak sanggup meneruskannya. Neville
tak merasakan adanya keanehan. Dia menepuk pundak Harry, melepaskannya dan menjauh
untuk mencari lebih banyak mayat.
Harry menangkupkan Jubah ke tubuhnya dan terus berjalan. Ada seseorang sedang bergerak
tak jauh darinya, membungkuk di atas sesosok mayat. Mereka hanya berjarak satu kaki
ketika dia menyadari orang itu adalah Ginny.
Dia berhenti. Ginny sedang berjongkok dekat seorang gadis yang sedang berbisik
memanggil ibunya.
“Tidak apa-apa”, kata Ginny. “Tidak apa-apa. Kami akan membawamu masuk”
“Tapi aku mau pulang”, bisik gadis itu. “Aku nggak mau bertarung lagi”
“Aku tahu”, kata Ginny, dan suaranya serak. “Semua akan baik-baik saja”
Gelombang dingin menyapu kulit Harry. Betapa ingin dia berteriak, ingin Ginny menyadari
kehadirannya, ingin Ginny tahu kemana dia hendak pergi. Dia ingin dihentikan, diseret,
dikirim pulang…
Tapi dia sudah di pulang. Hogwards adalah rumah pertama dan terbaik yang pernah dia
kenal. Dia dan Voldemort dan Snape, para anak laki-laki yang terlantar, sudah menemukan
rumah di sini…
Ginny sekarang sedang berlutut disamping gadis yang terluka itu, menggenggam tangannya.
Dengan usaha keras, Harry memaksa terus melangkah. Rasanya dia melihat Ginny
memandang ke sekeliling ketika Harry melewatinya, dan bertanya-tanya apakah inderanya
menangkap adanya seseorang berjalan di sana, tapi Harry tak bicara, dan tak melihat ke
belakang.
Pondok Hagrid muncul dari kegelapan. Tak ada cahaya, tak ada suara Fang mengonggong
menyambutnya. Seluruh kunjungannya ke Hagrid, dan kemilau kuali tembaga di atas
tungku, dan kue-kue keras dan makanan-makanan besar, dan wajah besarnya yang dipenuhi
jenggot, dan Ron yang muntah, dan Hermione yang menolongnya menyelamatkan
Norbert…
Dia terus berjalan, dan sekarang mencapai tepi hutan, lalu dia berhenti.
Sekawanan dementor sedang meluncur di antara pepohonan; dia bisa rasakan hawa dingin
mereka, dan dia tak yakin apakah bisa lewat dengan selamat. Dia tak punya kekuatan lagi
untuk mengeluarkan Patronus. Dia tak bisa lagi mengendalikan gemetar tubuhnya. Ternyata
tak semudah itu untuk mati. Dalam setiap tarikan nafasnya, bau rerumputan dan udara
dingin di wajahnya terasa begitu berharga; kalau memikirkan betapa orang memiliki tahun
demi tahun, waktu untuk dibuang percuma, sementara dia bergelantung pada setiap detik.
Pada saat yang bersamaan dia berpikir tak sanggup lagi untuk melanjutkan, sekaligus sadar
kalau dia harus. Pertandingan yang panjang berakhir sudah, Snitch telah tertangkap,
waktunya untuk meninggalkan udara…
Snitch. Jemarinya sejenak meraba-raba kantung di lehernya, lalu dia menarik benda itu
keluar.
I open at the close.
Dengan nafas yang kencang dia menatap benda itu. Sekarang ketika dia ingin waktu
bergerak selambat mungkin, rasanya dia makin cepat, dan pemahamannya datang begitu
cepatnya seolah-olah telah melewatinya. Inilah the close (penutupannya). Inilah saatnya.
Dia tekankan logam keemasan itu ke bibirnya dan berbisik, “Aku segera akan mati”
Kulit logam itu pecah terbuka. Dia rendahkan tangannya yang gemetaran, mengangkat
tongkat Draco di bawah Jubah dan menggumam, “Lumos”
Batu hitam yang retak bergerigi ke bagian tengah terletak di dalam Snitch yang terbelah
dua. Batu Bertuah (Resurrection Stone) itu telah retak secara vertikal, melambangkan
Tongkat Sihir Tua-tua (Elder Wand). Segitiga dan lingkaran melambangkan Jubah dan batu
itu masih bisa terlihat sebagai batu.
Dan lagi-lagi Harry mengerti tanpa harus berpikir. Tak perlu membawa mereka kembali,
karena dia sendiri akan bergabung dengan mereka. Bukan dia yang menjemput mereka.
Merekalah yang menjemputnya.
Dia menutup mata dan diputarnya batu itu dalam tangannya tiga kali.
Dia tahu hal itu sudah terjadi karena dia mendengar gerakan-gerakan kecil di sekelilingnya,
seperti gerakan tubuh-tubuh lemah yang menggeser pijakannya di atas tanah bertabur
ranting-ranting yang menandai tepi luar hutan itu. Dia buka matanya dan memandang ke
sekeliling.
Mereka bukanlah hantu bukan pula tubuh jasmani, itulah yang dia lihat. Mereka lebih
kelihatan seperti Riddle yang lolos dari perpustakaan di waktu dulu sekali, yaitu ingatan
yang hampir-hampir membentuk zat padat. Kurang dari tubuh-tubuh yang hidup, tapi lebih
dari hantu. Mereka bergerak ke arahnya. Dan pada tiap wajah mereka tersungging senyum
penuh kasih sayang.
Tinggi James persis sama dengan Harry. Dia mengenakan pakaian yang dipakainya ketika
meninggal, dan rambutnya acak-acakan, dan kacamatanya agak berat sebelah, seperti
kepunyaan Tuan Weasley.
Sirius jangkung dan tampan, dan jauh lebih muda dibanding yang pernah Harry lihat ketika
dia masih hidup. Dia melompat dengan anggun, tangan di dalam saku dan wajah
menyeringai.
Lupin juga jauh lebih muda, dan lebih langsing, dan rambutnya lebih lebat dan hitam. Dia
terlihat bahagia kembali ke tempat yang sangat dia kenal ini, tempat yang begitu banyak dia
jelajahi di masa mudanya.
Senyuman Lily adalah yang paling lebar. Dia sibakkan rambut hitamnya ke belakang
sementara dia mendekati Harry, dan mata hijaunya, begitu mirip dengan matanya,
memandangi wajah Harry tanpa puas, seakan-akan takkan pernah cukup baginya
memandangnya.
“Kau telah bertindak sangat berani”
Dia tak sanggup bicara. Matanya terpusat kepada Lily, dan dia pikir dia mau berdiri
memandanginya untuk selamanya, dan itu saja sudah cukup.
“Kau sudah hampir sampai”, kata James. “Dekat sekali. Kami….sangat bangga
terhadapmu”
“Sakitkah rasanya?”
Pertanyaan kekanak-kanakan itu terlontar begitu saja dari mulut Harry tanpa bisa
dicegahnya.
“Mati? Tidak sama sekali”, kata Sirius. “Lebih cepat dan lebih mudah daripada jatuh
tertidur”
“Dan dia akan menginginkan cepat terjadinya. Dia ingin semua berakhir”, kata Lupin.
“Aku tidak menginginkan kalian mati”, jawab Harry. Kata-kata ini terlontar begitu saja.
“Kalian semua. Maafkan aku –“
Kata-kata itu lebih ditujukannya kepada Lupin dibanding yang lain, dengan nada memohon.
“- tepat setelah kau punya anakmu…Remus, aku menyesal-“
“Aku juga menyesal”, kata Lupin. “Menyesal tak lagi bisa mengenalnya…tapi dia akan tahu
mengapa aku mati dan aku harap dia akan mengerti. Aku telah mencoba membuat sebuah
dunia dimana dia bisa menjalani hidup yang lebih bahagia”
Hembusan angin dingin yang seolah keluar dari pusat hutan itu mengangkat rambut di
bagian kening Harry. Dia tahu mereka akan tidak akan menyuruhnya pergi. Dia sendirilah
yang harus mengambil keputusan itu.
“Kalian akan menemaniku?”
“Sampai pada akhirnya”, kata James.
“Mereka tak akan bisa melihat kalian?”
“Kami adalah bagian dirimu”, kata Sirius. “Tak terlihat oleh siapapun”
Harry menatap ibunya.
“Dekatlah terus denganku”, ucapnya lirih.
Dan dia beranjak. Hawa dingin membeku dari Dementor tidak mengalahkannya, dia lewat
bersama para pengiringnya, dan mereka bertindak bagaikan Patronus-Patronus untuknya,
dan bersama-sama mereka beriringan melewati pepohonan tua yang tumbuh rapat, cabangcabangnya
saling melilit, akar-akarnya berbonggol-bonggol dan berpilin-pilin di bawah kaki
mereka. Harry menutupi dirinya rapat-rapat dengan Jubah Gaib dalam kegelapan, berjalan
masuk dan masuk terus ke dalam hutan, tanpa punya gambaran dimana Voldemort berada
tapi yakin Voldemort akan menemukannya. Di sampingnya James, Sirius, Lupin dan Lily
berjalan hampir tanpa menimbulkan suara, dan kehadiran mereka adalah keberaniannya, dan
alasan yang membuatnya mampu menggerakkan kakinya ke depan.
Tubuh dan pikirannya secara aneh rasanya terpisah sekarang, anggota-anggota tubuhnya
bekerja tanpa instruksi, seolah-olah dia adalah seorang penumpang, bukan juru mudi atas
tubuh yang sebentar lagi akan dia tinggalkan. Orang-orang mati yang berjalan di sisinya
menembus hutan terasa lebih nyata dibanding mereka yang masih hidup dalam kastil: Ron,
Hermione, Ginny dan semua orang lainlah yang terasa seperti hantu sementara dia tertatihtatih
menyongsong akhir hidupnya, menuju Voldemort.
Terdengar suara berdebuk dan bisikan: ada makhluk lain dekat sini. Harry berhenti di bawah
Jubah, mengamati keadaan sekeliling, mendengar, dan ayah-ibunya, Lupin dan Sirius turut
berhenti.
“Ada orang di situ”, terdengar bisikan kasar dari jarak dekat sekali. “Dia punya Jubah Gaib.
Apa mungkin –?“
Dua sosok muncul dari balik pohon dekat sana. Tongkat mereka menyala, dan Harry
melihat Yaxley dan Dolohov menatap ke dalam kegelapan, tepat ke tempat Harry dan yang
lainnya berdiri. Rupanya mereka tak melihat apapun.
“Tadi aku yakin dengar sesuatu”, kata Yaxley. “Menurutmu apa, binatang?”
“Hagrid memelihara banyak binatang di sini”, kata Dolohov sambil melirik lewat bahunya.
Yaxley melihat jamnya.
“Waktunya hampir habis. Porter tak datang”
“Sebaiknya kita kembali”, kata Yaxley. “Kita cari tahu ada rencana apa sekarang”
Dia dan Dolohov berbalik dan berjalan masuk ke dalam hutan. Harry mengikuti mereka,
tahu kalau mereka akan memandunya tepat ke tempat yang ingin dia capai. Dia melirik ke
samping, dan ibunya tersenyum kepadanya, dan ayahnya mengangguk memberi semangat.
Mereka baru berjalan sebentar ketika Harry melihat cahaya di depan, dan Yaxley dan
Dolohov melangkah ke sebuah tempat terbuka yang diketahui Harry sebagai lokasi dimana
Aragog yang mengerikan itu pernah tinggal. Sisa-sisa jaringnya masih ada, tapi kawanan
anak-anak yang dia telurkan telah diusir oleh para Pelahap Maut untuk berperang bagi
mereka.
Api menyala di tengah tempat terbuka itu, dan kerlap-kerlipnya menerangi segerombol
Pelahap Maut yang duduk waspada dalam kebisuan. Sebagian dari mereka masih
mengenakan topeng dan tudung kepala, sebagian lagi menampakkan wajah. Dua raksasa
berdiri di sisi luar kelompok itu, menghasilkan bayangan yang besar sekali, wajah mereka
kejam dan kasar seperti batu. Harry melihat Fenrir mengendap-endap sambil menggigit
kuku panjangnya; Rowle si pirang sedang menjilati bibirnya yang berdarah. Dia melihat
Lucius Malfoy, yang terlihat kalah dan ketakutan, dan Narcissa yang matanya yang cekung
dan penuh keprihatinan.
Setiap mata tertuju pada Voldemort, yang berdiri dengan kepala tertunduk, dan sementara
tangannya yang putih terlipat di atas Tongkat Tua-tua (Elder Wand) di depannya. Dia
agaknya sedang berdoa, atau menghitung dalam hati. Di belakang kepalanya si besar Nagini
masih melayang meliuk-liuk di dalam kandangnya yang gemerlapan, seperti lingkar halo
yang mengerikan.
Ketika Dolohov dan Yaxley kembali bergabung dengan lingkaran itu, Voldemort
mengangkat kepala.
“Tak ada tanda-tanda keberadaannya Tuanku”, kata Dolohov.
Raut wajah Voldemort tak berubah. Mata merah itu terlihat terbakar di dalam cahaya api.
Dengan perlahan ditariknya Tongkat Tua-tua (Elder Wand) di antara jemarinya yang
panjang.
“Tuanku –“
Bellatrix berbicara: dialah yang duduknya paling dekat dengan Voldemort, kusut dan sedikit
berdarah tapi selain itu tidak terluka.
Voldemort mengangkat tangan menyuruhnya diam, dan diapun tak mengucapkan apapun
lagi, tapi menatapnya dengan pandangan terpukau seorang pemuja.
“Aku kira dia akan datang”, kata Voldemort dalam nada tinggi jernih, matanya tertuju pada
cahaya api. “Aku berharap dia akan datang”.
Tak seorangpun berbicara. Mereka terlihat sama takutnya dengan Harry, yang saat ini
merasakan jantungnya melompat-lompat mendesak dadanya seakan-akan berniat melesat
dari tubuhnya yang segara akan dienyahkan..Tangannya basah oleh keringat sementara dia
menarik lepas Jubah Gaib dan menaruhnya dibawah jubahnya, beserta tongkatnya. Dia tak
ingin digoda untuk bertarung.
“Aku, agaknya…keliru”, kata Voldemort.
“Kau tidak keliru”
Harry mengucapkannya senyaring dia mampu, dengan mengumpulkan seluruh kekuatan
yang dia sanggup himpun: dia tak ingin terdengar takut. Batu Bertuah (Resurrection Stone)
menggelincir dari antara jemarinya yang mati rasa, dan dari sudut matanya dia melihat
orangtuanya, Sirius dan Lupin menghilang pada saat dia melangkah masuk kedalam cahaya
api. Pada saat itu dia merasa tak seorangpun yang panting selain Voldemort. Kini hanya
tinggal mereka berdua saja.
Ilusi itu segera lenyap secepat datangnya. Kedua raksasa itu meraung sementara para
Pelahap Maut serentak bangkit, dan banyak yang menjerit, terhenyak bahkan tertawa.
Voldemort membeku diam di tempatnya berdiri, tapi mata merahnya telah menemukan
Harry, dan dia menatap terus sementara Harry bergerak ke arahnya, tanpa sesuatupun di
antara mereka kecuali api.
Kemudian terdengar seruan, “HARRY! JANGAN!”
Dia berbalik: Hagrid terikat pada sebatang pohon, tubuhnya terbelit tali-temali. Tubuh
besarnya mengguncang cabang-cabang di atasnya ketika dia berusaha mati-matian
memberontak.
“JANGAN! JANGAN! HARRY, APA YANG KAU –““
“DIAM!” teriak Rowley, dan dengan kibasan tongkatnya Hagrid terdiam.
Bellatrix yang telah berdiri mengalihkan matanya dengan penuh minat dari Voldemort ke
Harry, dadanya membusung. Yang bergerak saat ini hanyalah lidah api dan si ular, meliukliuk
di dalam kandang di belakang kepala Voldemort.
Harry bisa merasakan tongkatnya menekan dadanya, tapi dia tak berusaha menghunusnya.
Dia tahu bahwa si ular terlalu terlindungi, tahu bahwa jika dia berhasil mengarahkan
tongkatnya ke arah Nagini, lima puluh kutukan akan menghantamnya lebih dulu. Voldemort
dan Harry masih memandang satu sama lain, dan sekarang Voldemort memiringkan
kepalanya sedikit, menimbang-nimbang anak yang sedang berdiri di hadapannya, dan
sebentuk senyum tanpa kegembiraan melengkung di mulutnya yang tanpa bibir.
“Harry Potter,” katanya dengan suara sangat halus. Tapi suaranya seakan-akan terbuat dari
lontaran api. “Anak Yang Selamat”
Tak satupun dari Pelahap Maut yang bergerak. Mereka menunggu. Segalanya menunggu.
Hagrid memberontak dan Bellatrix terengah-engah, dan Harry entah kenapa memikirkan
Ginny, parasnya yang bercahaya, dan bibirnya yang dia rasakan di -
Voldemort telah mengangkat tongkatnya. Kepalanya masih miring ke satu sisi, seperti anak
kecil yang penasaran akan apa yang terjadi jika dia meneruskannya. Hary balas menatap ke
dalam mata merah itu, menginginkannya terjadi saat itu juga, cepat, selagi dia masih bisa
berdiri, sebelum dia lepas kendali, sebelum rasa takutnya terkuak -
Dia melihat mulut yang bergerak dan kilatan cahaya hijau, dan lenyaplah semuanya.
BAB 35: KINGS CROSS
Dia berbaring tertelungkup, mendengar kesunyian. Tak ada yang mengawasi. Tak ada orang
lain di sana. Dia sendiri tak yakin berada dimana.
Lama sesudahnya, atau tanpa ada jeda waktu sama sekali, timbul pikirannya bahwa dia
pastilah ada, pastilah lebih dari sekadar pikiran tanpa tubuh, karena dia sedang berbaring,
benar-benar sedang berbaring di atas permukaan sesuatu. Karenanya dia punya indera
perasa, dan benda yang menahan tubuhnya tentunya ada juga.
Segera setelah dia mencapai kesimpulan ini, Harry menjadi sadar bahwa dia telanjang.
Yakin sedang sendirian di sana, dia tak kuatir, tapi keadaan itu membuatnya sedikit
penasaran. Dia bertanya-tanya apakah sebagaimana dia bisa merasa, dia juga bisa melihat?
Ketika membukanya, sadarlah dia bahwa dia punya mata.
Dia berbaring di kabut yang terang, sekalipun bukan jenis kabut yang pernah dialaminya.
Sekelilingnya tak tertutup uap berawan; atau tepatnya uap berawan belum lagi terbentuk di
sekelilingnya. Lantai dimana dia berbaring terlihat berwarna putih, tidak hangat tidak pula
dingin, benda datar yang semata-mata ada di sana.
Dia duduk. Tubuhnya tampak tak terluka. Disentuhnya wajahnya. Dia tak lagi mengenakan
kacamata.
Lalu suatu bunyi mencapainya melalui ke-tiadaan yang mengelilinginya; hentakan-hentakan
kecil dari sesuatu yang tertekuk, terpukul, dan memberontak. Suara yang menyedihkan,
namun terdengar agak tak pantas. Dia merasa sedang diam-diam mencuri dengar sesuatu
yang memalukan.
Untuk pertama kali dia berharap dia mengenakan pakaian.
Begitu pikiran itu muncul di kepalanya, terlihatlah sepotong jubah di dekatnya. Dia
mengambil lalu mengenakannya. Jubah itu lembut, bersih dan hangat. Sungguh luar biasa
bagaimana jubah itu muncul entah dari mana begitu dia menginginkannya….
Dia berdiri, melihat sekeliling. Apakah dia sedang berada di Ruang Kebutuhan? (Room of
Requirement)? Makin lama dia memandang, makin banyak yang bisa terlihat. Atap
melengkung berukuran besar berkilauan diterpa sinar matahari, tinggi di atas kepalanya.
Mungkin ini sebuah istana. Suasananya sangat hening dan tenang, kecuali bunyi gebukan
dan rintihan yang terasa dekat di dalam kabut.
Harry perlahan berputar di tempat, dan sekelilingnya seolah terbentuk sendiri di depan
matanya. Ruangan terbuka yang lebar, terang dan bersih, aula yang lebih besar dibanding
Aula Besar (Great Hall) dengan atap melengkung yang terbuat dari kaca jernih. Ruang itu
sepertinya kosong. Hanya dia yang ada di sana, kecuali – Dia terlonjak mundur. Terlihat
olehnya benda yang menghasilkan bunyi itu. Bentuknya seperti anak kecil, bergelung
telanjang di lantai, dagingnya kasar kemerahan seolah-olah telah dikuliti, dan dia berbaring
gemetaran di bawah sebuah kursi dimana dia telah ditinggalkan, diterlantarkan, dienyahkan
dari pandangan, dan sedang berjuang untuk bernafas.
Harry takut akan benda itu. Meski terlihat rapuh dan terluka, dia tak ingin mendekatinya.
Namun tetap saja dia melangkah makin dekat, siap melompat ke belakang setiap saat.
Segera saja dia sudah cukup dekat untuk menyentuhnya, tapi dia tak mampu. Dia merasa
bagaikan pengecut. Dia semestinya menenangkannya, tapi sosok itu membuatnya jijik.
“Kau tak bisa menolong”
Dia terlonjak memutar. Albus Dumbledore sedang melangkah ke arahnya, langkahnya tegak
dan sigap, dia mengenakan jubah panjang berwarna biru kelam.
“Harry”. Dibukanya kedua lengannya lebar-lebar, dan kedua tangannya utuh dan putih dan
tak rusak sama sekali. “Kau anak hebat. Kau pria yang sangat berani. Mari kita berjalan”.
Tertegun, Harry mengikuti sementara Dumbledore menjauh dari anak tanpa kulit yang
sedang merintih itu, membawanya menuju dua kursi yang sebelumnya tidak terlihat
olehnya, di bawah atap yang berkilauan. Dumbledore duduk di salah satu kursi dan Harry
menjatuhkan diri di kursi yang lain tanpa melepaskan pandangannya ke wajah Kepala
Sekolahnya itu. Rambut dan jenggot perak Dumbledore, mata biru tajam di balik kacamata
berlensa separuh bulat, hidung bengkok: semua persis seperti yang dia ingat. Namun
begitu…
“Tapi Anda sudah wafat”, kata Harry
“Oh, benar”, sahut Dumbledore terus terang.
“Kalau begitu….aku sudah mati juga?”
“Ah”, kata Dumbledore, senyumnya makin lebar. “Itu yang jadi pertanyaannya, bukan?
Aku pikir tidak”
Mereka saling memandang, kakek itu masih berseri-seri.
“Tidak?” ulang Harry
“Tidak”, sahut Dumbledore.
“Tapi…” secara naluriah Harry mengangkat tangannya ke bekas lukanya yang berbentuk
petir. Bekas luka itu sepertinya sudah hilang. “Tapi aku mestinya sudah mati – Aku tidak
membela diri. Aku sungguh-sungguh membiarkan dia membunuhku!”
“Dan itulah”, kata Dumbledore, “yang menurutku membuat semuanya jadi berbeda”
Kebahagiaan seolah-olah memancar dari Dumbledore bagaikan cahaya; bagaikan api: Harry
tak pernah melihat orang yang begitu puas dan nyaman dengan diri sendiri.
“Jelaskan”, kata Harry
“Kau sendiri sudah tahu”, kata Dumbledore. Digerak-gerakkannya kedua jempolnya.
“Aku biarkan dia membunuhku”, kata Harry, “Begitu kan?”
“Betul. Teruskan!”
“Sehingga bagian jiwanya yang ada dalam diriku…”
Dumbledore mengangguk-anggukkan kepalanya makin antusias, mendorong Harry untuk
melanjutkan, senyum lebar di wajahnya membangkitkan keberanian.
“…apa bagian itu sudah hilang?”
“Oh ya!”, kata Dumbledore. “Ya, dia menghancurkannya. Jiwamu utuh, dan sepenuhnya
milikmu, harry”
“Tapi kalau begitu…”
Harry melirik lewat bahunya ke makhluk kecil lumpuh yang gemetaran di bawa kursi.
“Itu apa, Professor?”
“Sesuatu yang tak mungkin bisa kita tolong”, kata Dumbledore.
“Tapi kalau Voldemort menggunakan Kutukan Pembunuh (Killing Curse)”, Harry kembali
memulai, “dan kali ini tak ada yang mati untukku – bagaimana bisa aku masih hidup?”
“Aku pikir kau tahu”, kata Dumbledore. “Coba pikir kembali. Ingat apa yang dia lakukan
dalam ketidakacuhannya, dalam ketamakan dan kekejamannya”
Harry berpikir. Dia biarkan pandangannya menerawang ke sekelilingnya. Jika benar tempat
ini istana, ini istana yang aneh, yang kursi-kursinya disusun berderet-deret dengan pagar di
sana sini, hanya dan dia dan Dumbledore dan makhluk di bawah kursi itulah yang berada di
sana. Lalu jawabannya keluar dari bibirnya dengan mudahnya, sama sekali tanpa usaha.
“Dia mengambil darahku”, kata Harry.
“Tepat sekali!”, kata Dumbledore. “Dia ambil darahmu dan dibentuknya kembali hidupnya
dengan darah itu! Darahmu di nadinya, Harry, perlindungan dari Lily di dalam kalian
berdua! Dia menambatkan dirimu pada kehidupan selama dia hidup!”
“Aku hidup, selama dia hidup? Tapi kukira…kukira justru sebaliknya! Aku kira kami
berdua mesti mati! Atau keduanya sama saja?
Dia terusik oleh suara rintihan dan hentakan makhluk di belakang mereka dan dia kembali
meliriknya.
“Anda yakin kita tak bisa berbuat sesuatu?”
“Tak mungkin ada pertolongan”
“Kalau begitu jelaskanlah…lebih banyak”, kata Harry, dan Dumbledore tersenyum.
“Engkaulah Horcrux yang ketujuh, Harry, Horcrux yang tak pernah dia perkirakan akan dia
ciptakan. Dia telah membuat jiwanya begitu tak stabil sehingga jiwa itu terpecah ketika dia
melakukan perbuatan yang begitu jahat, membunuh kedua orangtuamu, mencoba
membunuhmu. Tapi yang lolos dari ruangan itu lebih sedikit dari yang dia tahu. Dia
meninggalkan lebih dari sekedar tubuhnya saja. Dia meninggalkan bagian dari dirinya
padamu, bakal-korban yang telah selamat.
“Dan pengetahuannya masih juga tak lengkap, Harry! Itulah yang tidak dihargai oleh
Voldemort, dia tak merasa perlu memahami. Tentang peri rumah dan cerita anak-anak,
tentang cinta, kesetiaan dan kemurnian. Voldemort tidak mengetahui dan memahami apaapa.
Apapun tidak. Dia tak pernah memahami bahwa hal-hal itu lebih kuat dibanding
kekuatannya sendiri, kekuatan yang melampaui semua sihir.
“Dia mengambil darahmu karena tahu itu akan membuatnya kuat. Dia masukkan ke dalam
tubuhnya bagian kecil dari apa yang ditaruh ibumu kepadamu ketika dia mati demi kau.
Tubuhnya menyimpan pengorbanan ibumu yang terus hidup, dan selama bagian itu terus
hidup, begitu juga kau, dan begitu juga yang diharapkanVoldemort untuk dirinya.
Dumbledore tersenyum kepada Harry, dan Harry menatapnya.
“Dan Anda sudah tahu ini semua sejak awal?”
“Aku menebak-nebak, tapi biasanya tebakanku tepat”, kata Dumbledore dengan gembira,
dan mereka duduk dalam diam untuk sekian lama, sementara makhluk di belakang mereka
masih terus merintih dan gemetar.
“Masih ada lagi”, kata Harry. “Kenapa tongkatku mematahkan tongkat yang dia pinjam?”
“Kalau soal itu, aku tidak begitu yakin”
“Kalau begitu cobalah menebak”, kata Harry dan Dumbledore tertawa.
“Yang harus kau pahami, Harry, adalah bahwa kau dan Tuan Voldemort telah bepergian
bersama ke dalam alam gaib yang hingga kini belum dikenal dan belum diuji. Tapi aku pikir
beginilah yang terjadi, dan ini peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan tak satu
pembuat tongkatpun yang pernah meramalkan atau menjelaskan hal ini kepada Voldemort.
“Sebagaimana kau tahu sekarang, bahwa tanpa dia inginkan Voldemort telah melipatduakan
ikatan antara kalian berdua ketika dia kembali ke wujud manusia. Sebagian jiwanya masih
melekat ke jiwamu, dan dia mengambil bagian dari pengorbanan ibumu ke dalam dirinya
karena mengira itu akan memperkuat dirinya. Seandainya saja dia memahami kekuatan yang
hebat dari pengorbanan itu, dia mungkin tak akan berani menyentuh darahmu…Tapi kalau
dia bisa memahaminya tentu dia bukanlah Voldemort dan dia tak akan pernah melakukan
pembunuhan.
“Setelah memastikan ikatan timbal-balik ini, setelah membungkus takdir kalian lebih pasti
daripada yang pernah terjadi diantara dua ahli sihir manapun dalam sejarah, Voldemort
berlanjut dengan menyerangmu menggunakan sebuah tongkat yang bahan intinya sama
dengan kepunyaanmu. Dan sekarang hal yang sangat aneh terjadi. Inti tongkat itu bereaksi
sebagaimana Voldemort -yang tak pernah tahu kalau tongkatmu adalah kembaran
tongkatnya- menginginkannya.
“Dia lebih ketakutan dibanding kau malam itu, Harry. Kau telah menerima, bahkan
menyambut kemungkinan mati, suatu hal yang takkan pernah mampu dilakukan Voldemort.
Keberanianmu telah menang, tongkatmu memngungguli tongkatnya. Dan ketika terjadi,
sesuatu terjadi dengan kedua tongkat itu, sesuatu yang mencerminkan hubungan antara
masing-masing tuannya..
“Aku percaya tongkatmu telah menyerap sebagian kekuatan dan sifat tongkat Voldemort
malam itu, yang berarti tongkatmu mengandung sebagian kecil dari diri Voldemort sendiri.
Jadi tongkatmu mengenalinya ketika dia mengejarmu, mengenali pria yang adalah kerabat
sekaligus musuh bebuyutan, dan tongkatmu memuntahkan sebagian dari sihir Voldemort
melawan dia sendiri, sihir yang jauh lebih hebat dibanding yang pernah dilakukan oleh
tongkat Lucius. Tongkatmu sekarang mengandung daya hebat dari keberanianmu, plus
keahlian Voldemort sendiri: bagaimana mungkin tongkat Lucius Malfoy bisa bertahan?
“Tapi jika tongkatku begitu hebatnya, kenapa Hermione sanggup mematahkannya?” tanya
Harry.
“Anakku sayang, efeknya hanya tertuju kepada Voldemort saja, yang begitu menyimpang
terhadap hukum-hukum sihir terdalam. Hanya terhadap dialah tongkat itu secara tak biasa
menjadi berkekuatan hebat. Di luar itu, tongkat itu cuma sebuah tongkat biasa saja, sama
seperti yang lain, walaupun aku yakin tetaplah tongkat yang bagus”, Dumbledore
mengakhiri.
Harry duduk merenungkan semua itu untuk beberapa lama, atau bisa jadi hanya sekian
detik. Sukar sekali mengetahui hal-hal semacam waktu di tempat ini.
“Dia membunuhku dengan tongkatmu”
“Dia gagal membunuhmu dengan tongkatku”, koreksi Dumbledore. “Aku pikir kita bisa
setujui bahwa kau tidak mati – walau, tentu saja, “katanya menambahkan, seakan takut
bersikap telah lancang, “Aku tak menganggap remeh penderitaanmu, yang pastilah sangat
luar biasa”
“Tapi saat ini aku merasa senang”, kata Harry sambil memandangi tangan Dumbledore yang
bersih tanpa cacat. “Kita ini sebenarnya ada di mana?”
“Wll, justru aku yang ingin bertanya kepadamu”, kata Dumbledore sambil melihat
sekeliling. “Menurutmu kita ada di mana?”
Harry tak tahu sebelum Dumbledore bertanya. Tapi sekarang dia tahu dia sudah siap dengan
jawaban.
“Kelihatannya”, katanya perlahan, “seperti stasiun King’s Cross. Kecuali yang ini lebih
bersih dan kosong, dan tak kelihatan ada kereta api”
“Stasiun King’s Cross!” Dumbledore tertawa kecil, “Wah, betulkah?”
“Memangnya Anda pikir dimana?” tanya Harry, sedikit membela diri.
“Nak, aku tak tahu sama sekali. Ini, ibarat kata orang, adalah pestamu”
“Harry tak mengerti apa artinya itu; Dumbledore sedang membuatnya marah. Harry
meliriknya, lelu teringat akan pertanyaan yang lebih penting dibanding soal tempat ini.
“Deathly Hallows”, katanya, dan dia senang melihat kata-kata itu menghapus senyuman di
wajah Dumbledore.
“Ah, ya”, katanya. Dia malah terlihat agak kuatir.
“Well?”
Untuk kali pertama sejak Harry bertemu Dumbledore, dia terlihat seperti bukan seorang
yang berumur tua, sangat kurang dari itu. Sekilas dia terlihat bagaikan anak kecil yang
tertangkap basah melakukan pelanggaran.
“Bisakah kau memaafkanku?”, katanya. “Bisakah kau memaafkanku yang tidak
mempercayaimu? Tidak menceritakan kepadamu, Harry? Aku Cuma takut kau akan gagal
sebagaimana aku telah gagal. Aku cuma kuatir kau akan melakukan kesalahan yang aku
lakukan. Aku mengharapkan pengampunanmu Harry. Sakarang aku menyadari kalau kau
ternyata lebih baik daripada yang aku kira”
“Anda ini bicara apa?” tanya Harry yang kaget dengan nada suara Dumledore, dengan
airmata yang mendadak ada di matanya.
“Hallows, Hallows,” gumam Dumbledore. “Impian seorang yang putus asa!”
“Tapi itu nyata!”
“Nyata dan berbahaya, dan pemikat orang-orang bodoh”, kata Dumbledore. “Dan aku salah
satu orang bodoh itu. Tapi kau tahu bukan? Aku tak punya rahasia lagi darimu. Kau tahu”
“Aku tahu apa?”
Dumbledore memutar tubuhnya menghadap Harry, dan airmata masih berkilauan di mata
biru terangnya.
“Penguasa Maut , Harry, penguasa Maut! Apakah pada akhirnya aku lebih baik dari
Voldemort?”
“Tentu saja”, kata Harry. “Tentu saja – kenapa Anda bisa bertanya begitu? Anda tak pernah
membunuh jika Anda bisa menghindarinya”
“Betul, betul”, kata Dumbledore, dan dia bagaikan anak kecil yang mencari peneguhan.
“Namun begitu, aku juga mencari cara mengalahkan kematian, Harry”
“Tapi tidak dengan cara yang dia lakukan”, jawab Harry. Setelah semua amarahnya
terhadap Dumbledore, rasanya ganjil duduk di sini, di bawah langit-langit berkubah, dan
membela Dumbledore terhadap dirinya sendiri. “Hallows, bukan Horcrux”
“Hallows,” gumam Dumbledore, “bukan Horcrux. Tepat sekali.”
Ada jeda sejenak. Makhluk di belakang mereka merintih, tapi Harry tak lagi menoleh.
“Grindelwald juga mencarinya?” tanyanya.
Dumbledore menutup matanya sejenak, lalu mengangguk.
“Itulah hal utama yang menarik kami bersama”, katanya perlahan. “Dua anak pintar dan
sombong dengan obsesi bersama. Dia ingin menjadi Godric’s Hollow, sebagaimana aku
yakin kau sudah bisa menebaknya, karena makam Ignotus Peverell. Dia ingin menjelajahi
tempat dimana sang saudara ke-3 wafat”.
“Jadi itu semua benar?” tanya Harry, “Peverell bersaudara –“
“- adalah tiga bersaudara hikayat itu”, kata Dumbledore sambil mengangguk. “Ya, aku pikir
begitu. Kalau tentang apakah mereka berjumpa dengan Maut di jalanan sunyi…aku kira
lebih condong kalau Peverell bersaudara adalah ahli-ahli sihir berbakat dan berbahaya yang
berhasil menciptakan benda-benda jimat tersebut. Hikayat bahwa mereka adalah benda
Keramatnya (the Hallows) sang Maut sendiri, rasanya cuma legenda yang mungkin timbul
di sekitar jimat-jimat ciptaan mereka itu.
“Jubah Gaib, sebagaimana kau tahu, diteruskan turun temurun abad demi abad, ayah ke
anak laki-laki, ibu ke anak perempuan, terus sampai kepada keturunan terakhir Ignotus yang
masih hidup, yang tempat lahirnya sama dengan Ignotus, di Godric’s Hollow”
Dumbledore tersenyum kepada Harry
“Aku?”
“Kau. Aku tahu kau sendiri sudah menduga-duga, kenapa Jubah itu ada di tanganku di
malam kedua orangtuamu wafat. James memperlihatkannya kepadaku beberapa hari
sebelumnya. Hal itu membuat jelas sejumlah pelanggarannya yang tak terdeteksi di sekolah!
Aku hampir-hampir tak percaya apa yang aku lihat. Aku minta pinjam, untuk
memeriksanya. Aku sudah lama berhenti bermimpi untuk menyatukan benda-benda
Keramat itu (the Hallows) tapi aku tak sanggup menahan diri, tak sanggup menahan diri
untuk tidak melihat lebih dekat…itu adalah Jubah jenis yang belum pernah aku lihat
sebelumnya, sangat tua, sempurna dari segala segi, dan kemudian ayahmu wafat, dan
akhirnya aku memiliki dua Benda Keramat, untuk diriku sendiri!”
Nada suaranya jelas terdengar pahit.
“Tetap saja Jubah itu tak bisa membantu mereka selamat”, kata Harry cepat. “Voldemort
tahu dimana ayah dan ibu. Jubah itu tak bisa membuat mereka tahan kutukan”.
“Benar,” Dumbledore mendesah. “Benar.”
Harry menunggu, tapi Dumbledore tak bicara, jadi dia bertanya..
“Jadi Anda sudah berhenti mencari Benda-benda Keramat ketika melhat Jubah Gaib?”
“Oh ya”, sahut Dumbledore lirih. Sepertinya dia memaksakan diri menatap mata Harry.
“Kau tahu apa yang terjadi. Kau tahu. Kau tak bisa membenci aku lebih dari aku benci diri
sendiri”
“Tapi aku tak membenci Anda -”
“Seharusnya kau benci”, kata Dumbledore. Dia menarik nafas dalam-dalam. “Kau tahu
rahasia sakitnya saudara perempuanku, apa yang dilakukan para Muggle itu, jadi apa dia
jadinya. Kau tahu kalau ayahku membalas dendam, dan membayar harganya, mati di
Azkaban. Kau tahu kalau ibuku mengorbankan hidupnya demi memelihara Ariana”
“Aku benci itu semua Harry”
Dumbledore mengatakan hal itu terus terang, dengan nada dingin. Dia sekarang memandang
lewat atas kepala Harry, ke kejauhan.
“Aku punya bakat, aku hebat. Aku ingin melarikan diri. Aku ingin bersinar-sinar. Aku ingin
kemuliaan”
“Jangan salah mengerti”, katanya, rasa pedih memancar di wajahnya sehingga dia kembali
terlihat sangat tua. “Aku sayang mereka, sayang orangtuaku, sayang saudaraku laki-laki dan
perempuan, tapi aku egois, Harry. Lebih egois daripada yang bisa kau - orang yang sangat
tidak mementingkan diri sendiri- bisa bayangkan.
“Jadi sewaktu ibuku wafat, dan kepadaku jatuh tanggung jawab menjaga saudara perempuan
yang sudah rusak dan saudara laki-laki yang tidak patuh, aku kembali ke kampungku
dengan rasa marah dan pahit. Terperangkap dan disia-siakan, pikirku! Dan tentu saja, dia
datang…”
Dumbledore kembali menatap langsung ke dalam mata Harry.
“Grindelwald. Kau tak bisa bayangkan betapa gagasan-gagasannya menawanku Harry,
membakarku. Para Muggle dipaksa tunduk. Kami para ahli sihir berkuasa. Grindelwald dan
aku sendiri, pemimpin revolusi yang muda yang agung.
“Aku punya sejumlah ganjalan dalam hati. Aku tenangkan kata hatiku dengan kata-kata
kosong. Tujuannya kan untuk kebaikan yang berskala lebih besar dan setiap kerugian yang
ditimbulkan akan dibayar beratus kali lipat demi kepentingan para ahli sihir. Tahukah aku di
dasar hatiku, siapa Gellert Grindelwald itu? Aku rasa aku tahu, tapi aku menutup mata.
Kalau rencana kami terwujud, semua mimpiku akan jadi kenyataan.
Dan pusat dari rencana kami adalah Benda-benda Keramat sang Maut (Deathly Hallows)!
Betapa benda-benda itu memukaunya, memukau kami berdua! Tongkat yang tak
terkalahkan, senjata yang akan memberikan kami kekuasaan! Batu Kebangkitan
(Resurrection Stone) – bagi dia, walau aku pura-pura tak tahu, itu artinya pasukan Inferi!
Buatku, aku akui, itu artinya kembalinya kedua orangtuaku, dan terangkatnya tanggung
jawab dari pundakku”
“Dan Jubah Gaib…entah kenapa kita tak pernah bicara banyak tentang Jubah itu, Harry.
Kita berdua cukup mampu menyembunyikan diri tanpa Jubah itu; Jubah itu memang punya
sihir sejati yaitu bisa menyembunyikan dan melindungi baik pemiliknya maupun orang lain.
Aku pikir jika kami menemukannya Jubah itu akan dapat digunakan menyembunyikan
Ariana, tapi ketertarikan kami terhadap Jubah itu utamanya adalah bahwa ia akan membuat
trio Benda-benda Keramat itu, karena menurut legenda barangsiapa bisa menyatukan ketiga
benda itu, dia akan menjadi penguasa maut yang sejati, yang dalam pengertian kami berarti
‘tak terkalahkan’”
“Penguasa maut yang tak terkalahkan, Grindelwald dan Dumbledore! Dua bulan penuh
kegilaan, mimpi-mimpi kejam, dan penelantaran 2 anggota keluarga yang ditinggalkan
kepadaku”
“Dan kemudian…kau tahu apa yang terjadi. Kenyataan datang kembali lewat saudara lakilakiku
yang buta huruf dan jauh lebih disukai orang. Aku tak ingin mendengar kebenaran
yang diteriakkannya kepadaku. Aku tak mau dengar bahwa aku tak mungkin bisa pergi
mencari Benda-benda Keramat dengan adanya saudara perempuan yang rapuh dan tak stabil
bersamaku.”
“Pertengkaran berubah jadi perkelahian. Grindelwald lepas kendali. Itulah yang selama ini
aku rasakan tentang dia, walau aku pura-pura tidak merasakannya, tapi sekarang menjadi
kenyataan. Dan Ariana…setelah selama ini dijaga dan dilindungi ibu…terbaring mati di
lantai.”
Dumbledore tersendat dan mulai menangis tanpa sungkan. Harry menyodorkan tangan dan
gembira ternyata bisa menyentuhnya: Dia cengkeram lengannya dengan erat dan perlahan
Dumbledore kembali bisa mengontrol diri.
“Well, Grindelwald kabur, sebagaimana semua orang -kecuali aku- perkirakan. Dia lenyap,
bersama dengan rencananya untuk merampas kekuasaan, menyiksa para Muggle, dan
mimpinya akan Benda-benda Keramat, mimpi yang disemangati dan ditolong olehku
sendiri. Dia kabur, sedangkan aku ditinggal untuk menguburkan saudaraku, dan untuk
belajar hidup bersama rasa bersalah dan penyesalan, harga noda di wajahku”
“Tahun-tahun berlalu. Terdengar rumor tentang dia. Ada yang bilang dia telah memperoleh
sebuah tongkat yang berkekuatan luar biasa. Sementara itu aku ditawari posisi di
Kementerian Sihir, bukan hanya sekali, tapi beberapa kali. Dengan serta merta aku menolak.
Aku telah belajar kalau kepadaku tak seharusnya dipercayakan kekuasaan”.
“Tapi Anda pasti lebih baik, jauh lebih baik dibanding Fudge atau Scimgeour!” seru Harry.
“Begitukah”, tanya Dumbledore. “Aku tak yakin. Sudah terbukti, sewaktu anak muda, kalau
kekuasaan adalah kelemahan dan godaan buatku. Kekuasaan adalah sesuatu yang bikin
penasaran, Harry, tapi mungkin orang yang cocok memegang kekuasaan adalah orang yang
tak pernah menginginkannya. Orang yang, seperti kau sendiri, disodori jubah
kepemimpinan, dan menerimanya karena memang harus, dan terkejut karena mereka
mengenakannya secara benar.
“Aku lebih aman berada di Hogwarts. Aku pikir aku ini guru yang baik –“
“Anda yang terbaik –“
“- kau baik sekali, Harry. Tapi sementara aku menyibukkan diri dengan melatih ahli-ahli
sihir muda, Grindelwald menyusun pasukannya. Mereka bilang dia takut kepadaku, dan
mungkin itu benar, tapi tidak sebesar takutku kepadanya”
“Oh, bukan kematian”, kata Dumbledore menjawab pandangan bertanya Harry. “Bukan apa
yang dapat dilakukannya secara sihir kepadaku. Aku tahu kami sama kuat, mungkin aku
sedikit lebih unggul. Kebenaranlah yang aku takutkan. Soalnya aku tak pernah tahu siapa
diantara kami pada pertarungan terakhir yang mengerikan itu yang telah mengeluarkan
kutukan yang membunuh saudaraku. Kau boleh menyebutku pengecut; kau bisa jadi benar
Harry. Aku takut sekali melebihi apapun kalau ternyata akulah yang telah membunuhnya,
bukan semata-mata dengan kecongkakan dan ketololanku, melainkan bahwa akulah yang
benar-benar mengeluarkan serangan yang mencabut nyawanya.
“Aku kira dia tahu mengenai hal itu. Aku kira dia tahu apa yang membuatku takut. Aku
tunda-tunda berjumpa dengannya hingga akhirnya terasa terlalu memalukan kalau menolak
terus. Orang-orang bermatian dan dia tampaknya tak terhentikan, dan aku harus melakukan
apa yang aku bisa.”
“Well, kau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku memenangkan duel itu. Aku
memenangkan tongkat itu.”
Kembali hening. Harry tidak menanyakan apakah Dumbledore sudah tahu siapa yang
membunuh Ariana. Dia tak ingin tahu, dan lebih tak ingin lagi Dumbledore
memberitahunya. Akhirnya dia tahu apa yang Dumbledore akan lihat sewaktu dia
memandang ke dalam cermin Erised, dan kenapa Dumbledore begitu mengerti akan pesona
cermin itu atas Harry.
Mereka duduk dalam diam untuk beberapa lama, dan rintihan makhluk di belakang mereka
tak lagi mengusik Harry.
Akhirnya dia berkata, “Grindelwald mencoba mencegah Voldemort mengejar tongkat itu.
Dia berbohong, berpura-pura dia tak pernah memilikinya, walau Anda tahu.”
Dumbledore mengangguk, menunduk, air mata masih berkilauan di hidung bengkoknya.
“Orang-orang bilang dia menyesal bertahun-tahun sesudahnya, sendirian di selnya di
Nurmengard. Aku harap itu benar. Aku ingin dia merasa ngeri dan malu akan apa yang telah
dilakukannya. Mungkin saja kebohongannya terhadap Voldemort adalah bentuk upayanya
untuk menebus kesalahannya…mencegah Voldemort merebut Benda-benda Keramat itu…”
“…atau mencegahnya menerobos makam Anda?”, Harry berpendapat, dan Dumbledore
menyeka matanya.
Setelah jeda pendek Harry berkata, “Anda mencoba menggunakan Batu Kebangkitan
(Resurrection Stone)”
Dumbledore mengangguk.
“Ketika kutemukan setelah begitu lama, terkubur di rumah Gaunts yang terlantar, Benda
Keramat yang paling aku dambakan, meskipun di masa mudaku aku menginginkannya
untuk maksud yang sama sekali lain – aku lupa diri, Harry, aku lupa kalau kini aku adalah
sebuah Horcrux, bahwa cincin itu pasti akan membawa kutukan. Aku mengambilnya, aku
mengenakannya, dan untuk sedetik lamanya aku membayangkan akan bertemu Ariana, dan
ibuku, dan ayahku, dan mengatakan berapa aku sangat, sangat menyesal. Aku…”
“Aku bodoh sekali, Harry. Setelah begitu lama aku tak belajar apapun. Aku tak layak
menyatukan Benda-benda Keramat, aku sudah membuktikannya dulu, dan yang ini adalah
bukti terakhir.
“Kenapa?”, kata Harry. “Itu wajar! Anda ingin bertemu mereka kembali. Apa salahnya?”
“Mungkin yang bisa menyatukan Benda-benda Keramat adalah satu di antara sejuta, Harry.
Aku cuma layak memiliki yang paling tak berarti, yang paling tak luar biasa. Aku layak
memiliki Elder Wand (tongkat Tua-tua) dan tidak menyombongkannya dan tidak
memakainya untuk membunuh. Aku diperlayakkan memakai dan menjinakkannya, karena
aku mengambilnya bukan demi keuntungan, tapi demi menyelamatkan orang lain darinya”
“Tapi Jubah Gaib, aku mengambilnya karena penasaran, ajdi Jubah itu takkan pernah bisa
berfungsi untukku sebagaimana ia berfungsi untukmu, pemilik sejatinya. Batu itu aku akan
pakai untuk memanggil kembali mereka yang sudah tenang di alam sana, bukan untuk
mempraktekkan pengorbanan diri, seperti yang kau lakukan. Kaulah yang pantas jadi
pemilik Benda-benda Keramat itu.”
Dumbledore menepuk tangan Harry, dan Harry menatap mata kakek itu dan tersenyum; tak
bisa ditahannya dirinya. Siapa yang masih bisa marah kepada Dumbledore sekarang?
“Kenapa Anda harus membuatnya begitu sukar?”
Senyum Dumbledore bergetar.
“Aku mengandalkan Nona Granger untuk memperlambat kau, Harry. Aku kuatir kepala
panasmu itu akan menguasai hatimu yang baik. Aku takut kalau aku beberkan semuanya
lengkap dengan fakta-fakta tentang benda-benda penuh godaan itu, kamu akan merebut
Benda-benda Keramat seperti yang aku lakukan, pada waktu yang keliru, untuk tujuan yang
keliru. Jika kau memegang benda-benda itu, aku mau kau melakukannya dengan cara
selamat. Kaulah penguasa sejati maut, karena penguasa sejati tak akan lari dari Maut. Dia
pasrah bahwa dia akan mati, dan dia mengerti bahwa ada hal-hal yang jauh lebih buruk di
dunia orang hidup dibanding dunia orang mati.
“Dan Voldemort tak pernah tahu tentang Benda-benda Keramat itu?”
“Aku pikir begitu, karena dia tak mengenali Batu Kebangkitan yang dia ubah menjadi
sebuah Horcrux. Tapi seandainyapun dia tahu, Harry, Aku ragu dia akan tertarik dengannya
kecuali benda yang pertama. Dia tak akan merasa butuh JubahGaib, dan mengenai batu itu,
memangnya siapa yang dia ingin hidupkan lagi? Dia takut alam kematian. Dia tidak punya
cinta”
“Tapi Anda memperkirakan dia akan mencari tongkat itu?”
“Aku yakin dia akan mencoba, sejak tongkatmu mengalahkan tongkat Voldemort di
pemakaman Little Hangleton. Awalnya dia kuatir kau telah mengalahkan dia karena
keahlianmu yang luar biasa. Tapi setelah menculik Ollivander dia baru tahu tentang adanya
inti ganda. Dia pikir itu menjelaskan semua. Tapi ternyata tongkat pinjaman itu tidak lebih
baik dari punyamu! Jadi Voldemort, alih-alih memikirkan kualitas apa di dalam dirimu yang
membuat tongkatmu begitu kuat, karunia apa yang kau miliki, justr pergi mencari tongkat
yang katanya bisa mengalahkan tongkat lain manapun. Buat dia Tongkat Tua-tua (Elder
Wans) sudah menjadi sebuah obsesi, menyaingi obsesinya terhadamu. Dia percaya Elder
Wand menghilangkan kelemahan terakhirnya dan membuatnya benar-benar tak terkalahkan.
Severus yang malang…”
“Kalau Anda merencanakan kematian Anda bersama Snape, berarti Anda memperkirakan
dia pada akhirnya memegang Elder Wand bukan?”
“Aku akui memang itulah yang aku harapkan”, kata Dumbledore, “tapi kenyataannya tidak
seperti itu bukan?”
“Tidak”, kata Harry, “tidak seperti yang Anda harapkan”
“Makhluk di belakang mereka menyentak dan melenguh, dan Harry dan Dumbledore duduk
tanpa bicara untuk waktu yang begitu lama. Perlahan-lahan bagaikan salju yang melayang
jatuh, pikiran Harry mulai menyadari akan apa yang akan terjadi selanjutnya
“Aku harus kembali, begitu bukan?”
“Itu terserah padamu”
“Apa aku punya pilihan?”
“Oh ya”, Dumbledore tersenyum. “Katamu kita sedang berada di King’s Cross? Aku pikir
jika kau putuskan untuk tidak kembali, kau akan bisa…katakanlah…naik kereta api”
“Dan kemana keretanya akan membawaku?”
“Terus”, sahut Dumbledore pendek.
Hening kembali.
“Voldemort sudah mendapatkan Elder Wand”
“Betul. Voldemort sudah mendapatkan Elder Wand”
“Tapi Anda ingin agar aku kembali?”
“Aku pikir”, kata Dumbledore, “jika kau memilih untuk kembali, ada kemungkinan dia akan
tamat riwayatnya untuk selamanya. Aku tak bisa menjamin. Tapi satu hal yang kutahu,
Harry adalah ini: apa yang kau takutkan kalau kau kembali, tidaklah sebesar apa yang
ditakutkan olehnya”
Harry kembali melirik makhluk kasar yang sedang gemetar dalam bayang-bayang di bawah
kursi itu.
“Jangan kasihani mereka yang mati, Harry. Kasihanilah mereka yang hidup, dan yang
terutama, mereka yang hidup tanpa cinta. Dengan kembalinya kau, bisa dipastikan akan
berkruang jiwa-jiwa yang disiksa, berkurang keluarga-keluarga yang dicerai-beraikan. Jika
menurutmu itu cukup sebagai tujuan, maka untuk saat ini kita ucapkan selamat berpisah”.
Harry mengangguh dan mendesah. Meninggalkan tempat ini takkan sesukar berjalan masuk
hutan sebelumnya, tapi di sini hangat, terang dan damai dan dia tahu dia akan kembali ke
tampat dimana ada kesakitan dan rasa takut akan lebih banyak korban. Dia bangkit berdiri,
dan Dumbledore berbuat yang sama, dan mereka saling berpandangan begitu lamanya.
“Terakhir, seritahukan satu hal”, kata Harry. “Apa ini sungguh-sungguh nyata? Atau hanya
terjadi dalam kepalaku?”
Wajah Dumbledore berseri-seri, dan suaranya terdengar kencang dan kuat dalam telinga
Harry meskipun kabut terang mulai tirun kembali, menutupi sosoknya.
“Tentu saja ini terjadi dalam kepalamu, Harry, tapi kenapa pula dianggap tidak sungguhsungguh
nyata?”
BAB 36: KELEMAHAN DALAM RENCANA
Dia kembali terbaring menghadap tanah. Bau hutan memenuhi lubang hidungnya. Dia bisa
merasakan tanah keras dan dingin dibawah pipinya, dan gagang kacamatanya yang
terhantam dari samping akibat jatuhnya mengiris pelipisnya. Seluruh tubuhnya gatal, dan
bagian dimana Kutukan Pembunuh (Killing Curse) menghantamnya terasa seperti luka
akibat tinju besi. Dia tak bergerak tapi tetap berada di tempat dia jatuh, dengan kedua
lengan tertekuk membentuk sudut aneh, dan mulut terbuka.
Dia berharap mendengar sorak-sorai kemenangan dan kegembiraan atas kematiannya,
namun yang terdengar memenuhi udara adalah langkah kaki yang tergopoh-gopoh, bisikbisik
dan gumaman.
“Tuanku…Tuanku…”
Itu suara Bellatrix, dan suaranya seolah ditujukan buat seorang kekasih. Harry tak berani
membuka mata tapi membiarkan indera lainnya mengenali situasi. Dia tahu tongkatnya
masih terselip dibawah jubahnya karena bisa dirasakannya terjepit di antara tanah dan
dadanya. Sedikit tekanan dibagian perutnya memberitahu bahwa Jubah Gaib masih ada di
sana, tersembunyi dari pandangan.
“Tuanku…”
“Itu sudah cukup…” suara Voldemort.
“Langkah kaki makin banyak. Sejumlah orang mundur dari satu titik Sangat ingin melihat
apa yang sedang terjadi dan apa sebabnya, Harry membuka matanya sesedikit mungkin.
Voldemort terlihat mencoba berdiri. Sejumlah Pelahap Maut buru-buru menjauh darinya,
kembali ke gerombolan yang melingkari tempat terbuka itu. Hanya Bellatrix yang tetap
Tinggal di belakang, berlutut di sisi Voldemort.
Harry menutup mata kembali dan mempertimbangkan apa yang telah dilihatnya. Para
Pelahap Maut tadi berkerumun di sekeliling Voldemort, yang sepertinya telah terjatuh ke
tanah. Sesuatu telah terjadi ketika dia menghantam Harry dengan Kutukan Pembunuh. Apa
Voldemort tadi pingsan? Sepertinya begitu. Mereka berdua sama-sama jatuh tak sadarkan
diri, dan sekarang keduanya kembali…
“Tuanku, Biar aku –“
Aku tak butuh bantuan”, kata Voldemort dingin, dan meski tak bisa melihatnya Harry
membayangkan Bellatrix menjulurkan tangan hendak menolong. “Anak itu…sudah matikah
dia?”
Keheningan yang amat sangat di tempat itu. Tak ad ayang mendekati Harry, tapi dia
merasakan tatapan mata berpusat kepadanya; seolah-olah tatapan itu mendesaknya masuk ke
tanah, dan dia takut sewaktu-waktu jari atau kelopak matanya bergerak.
“Kau”, kata Voldemort dan terdengar suara letupan dan jeritan kecil. “Periksa dia. Beritahu
apa dia sudah mati”
Harry tak tahu siapa yang diperintah itu. Dia hanya bisa berbaring di sana dengan jantung
yang berdebum-debum kencang, dan menunggu diperiksa, tapi pada saat yang sama sedikit
lega karena Voldemort kuatir mendekatinya, karena Voldemort curiga rencananya tidak
berjalan baik…
Tangan-tangan, lebih lembut dari yang dia perkirakan, menyentuh wajah Harry, menarik
kelopak matanya, menyelinap ke balik bajunya, turun ke dadanya dan merasakan
jantungnya. Dia bisa mendengar nafas pendek-pendek wanita itu, rambutnya yang panjang
menggelitik wajahnya. Harry tahu dia bisa merasakan dentaman jantungnya.
“Apakah Draco masih hidup? Apa dia di kastil?”
Bisikan itu hampir-hampir tak terdengar, dan bibirnya hapi rmenyentuh telinga Harry,
kepalanya menunduk begitu rendah sampai-sampai rambutnya menghalangi wajahnya dari
pandangan mereka yang memperhatikan.
“Ya”
Dia merasakan tangan di atas dadanya mengejang: kuku-kukunya menusuk Harry. Lalu
tangan itu ditarik. Dia sudah bangkit.
“Dia sudah mati!” seru Narcissa Malfoy kepada semua yang menonton.
Dan kini mereka berteriak-teriak, menyorakkan kemenangan dan membanting-banting kaki
ke tanah, dan lewat garis matanya Harry melihat ledakan cahaya merah dan perak melesat
ke udara sebagai perayaan.
Masih berpura-pura mati di tanah, dia mengerti. Narcisaa tahu satu-satunya cara dia
diperbolehkan memasuki Hogwarts, dan menemukan anaknya, adalah sebagai bagian dari
pasukan pemenang ini. Dia tak lagi peduli apakah Voldemort menang.
“Kau lihat?”, lengking Voldemort mengatasi keriuhan itu. “Harry Potter mati di tanganku,
dan tak ada lagi yang bisa mengancamku sekarang! Perhatikan! Crucio!”
Harry sudah menduganya, tubuhnya takkan dibiarkan tetap berada di tanah hutan itu tanpa
hinaan; dia harus dipermalukan demi membuktikan kemenangan Voldemort. Dia diangkat
ke udara, dan butuh seluruh keteguhan hatinya untuk tetap lemas, namun rasa sakit yang dia
nantikan tak datang juga. Dia dilemparkan sekali, dua kali, tiga kali ke udara. Kacamatanya
terlempar dan dia merasakan tongkatnya meluncur sedikit di balik jubahnya, tapi dia terus
bersikap seolah-olah mati, dan ketika dia terlempar untuk terakhir kalinya, tempat itu penuh
dengan ejekan dan jerit tawa.
“Sekarang”, kata Voldemort, “kita ke kastil dan memperlihatkan kepada mereka nasib
pahlawan mereka. Siapa yang akan menyeret mayat ini? Tidak – tunggu –“
Kembali terdengar ledakan tawa, dan beberapa saat lama kemudian Harry merasakan tanah
bergetar di bawahnya.
“Kau bawa dia”, kata Voldemort. “Dia akan baik dan terlihat jelas di lenganmu, iya kan?
Angkat teman kecilmu, Hagrid. Dan kacamatanya –pakaikan kacamatanya- dia harus
dikenali-“
Dengan tenaga kuat seseorang memasangkan kembali kacamata Harry ke wajahnya, tapi
tangan besar yang mengangkatnya sangat lembut. Harry bisa merasakan lengan Hagrid
bergoncang akibat gelombang isaknya; air mata deras menerpa Harry ketika Hagrid
membopongnya, dan Harry tak berani memberi isyarat baik lewat gerakan maupun kata-kata
bahwa dia tidak mati, belum mati.
“Ayo jalan”, kata Voldemort dan Hagrid tertatih melangkah, memaksa maju menerobos
pepohonan yang rapat, kembali menembus hutan. Ranting-ranting menyambar rambut dan
jubah Harry, tapi dia berbaring diam, mulutnya membuka, dan matanya tertutup, dan dalam
kegelapan, sementara para Pelahap Maut berkerumun di sekitar mereka, dan sementara
Hagrid terisak-isak, tak seorangpun yang punya pikiran untuk mengecek denyut nadi leher
Harry yang tersingkap…
Kedua raksasa berjalan di belakang para Pelapah Maut, menghancurkan yang mereka
lewati; Harry bisa mendengat pepohonan patah dan tumbang sementara mereka lewat; hiruk
pikuknya begitu hebat sampai-sampai burung-burung menjerit sambil terbang ke angkasa,
bahkan sorak-soarai para Pelahap Maut tenggelam. Arak-arakan kemenangan itu terus
berbaris menuju tanah terbuka dan sebentar sesudahnya Harry bisa merasakan dari matanya
yang tertutup bahwa kegelapan makin berkurang, dan itu berarti pepohonan mulai jarang.
“BANE!”
“Teriakan sekonyong-konyong Hagrid hampir saja membuat mata Harry terbuka. “Kalian
senang sekarang? Tidak perlu betempur, dasar pengecut. Kalian senang Harry Potter- mmati…?
Hagrid tak sanggup meneruskan, tangisnya pecah. Harry menduga-duga berapa banyak
centaurs yang sedang mengamati mereka lewat; dia tak berani melihatnya. Beberapa
Pelahap Maut meneriakkan ejekan kepada centaurs sementara mereka lewat. Tak lama
kemudian Harry merasakan, lewat segarnya udara, mereka sudah mencapai tepi hutan.
“Stop”
Harry mengira Hagrid pastilah dipaksa mentaati perintah Voldemort itu, karena Dia berhenti
dengan sedikit sentakan. Dan kini hawa turun di tempat mereka berdiri, dan Harry
mendengar bunyi kasar nafas para dementor yang berjaga-jaga di sekitar pepohonan tepi
luar hutan. Mereka tak menimbulkan akibat apa-apa baginya sekarang. Fakta akan
keselamatannya menyala dalam dirinya, menjadi azimat terhadap mereka, seolah-olah rusa
jantan ayahnya berjaga-jaga di hatinya.
Seseorang lewat dekat Harry, dan dia tahu itu adalah Voldemort sendiri karena dia berbicara
sesaat kemudian, suaranya secara sihir berlipat kali ganda sehingga membahana,
menghantam gendang telinga Harry.
“Harry Potter sudha mati. Dia terbunuh ketika melarikan diri, berusaha mencari selamat
sementara kalian menyerahkan nyawa kalian demi dia. Kami bawa mayatnya sebagai bukti
kalau pahlawan kalian telah tiada”
“Peperangan ini sudah kami menangkan. Kalian telah kehilangan setengah dari pejuang.
Para Pelahap Mautku lebih banyak dibanding kalian, dan Anak Yang Selamat itu sudah
tamat riwayatnya. Jangan ada lagi perang. Barangsiapa ingin terus menentang, baik lakilaki,
perempuan, atau anak kecil, akan dibantai, begitu juga anggota keluarganya. Keluarlah
dari kastil sekarang, berlututlah di hadapanku, dan kalian akan diampuni. Orangtua dan
anak-anak kalian, saudara-saudara kalian akan hidup dan dimaafkan, dan kalian akan
bergabung denganku di dunia baru yang akan kita bangun bersama”
Ada keningan baik di luar maupun di dalam kastil. Voldemort begitu dekat dengannya
sampai-sampai Harry tak berani membuka mata lagi.
“Mari”, kata Voldemort dan Harry mendengarnya bergerak maju, dan Harry dipaksa
mengikuti. Sekarang Harry membuka sedikit matanya dan melihat Voldemort melangkah di
depan mereka, membawa si ular besar Nagini di pundaknya, kali ini sudah tanpa
kandangnya. Tapi Harry tak mungkin menghunus tongkat di balik jubahnya tanpa terlihat
para Pelahap Maut yang berjalan di kedua sisi mereka sementara kegelapan perlahan makin
menipis.
“Harry”, isak Hagrid. “Oh, Harry…Harry…”
Kembali Harry menutup rapat matanya. Dia tahu mereka sedang mendekati kastil dan
menajamkan telinganya untuk memisahkan antara suara para Pelahap Maut dan derap kaki
mereka dengan tanda-tanda kehidupan dari dalam kastil sana.
“Stop.”
Para Pelahap Maut berhenti. Harry mendengar mereka menyebar membentuk garus
menghadap pintu masuk sekolah itu. Dia bisa lihat, meski lewat matanya tertutup, kilau
kemerahan yang adalah cahaya yang diarahkan kepadanya dari dalam aula masuk. Dia
menunggu. Sewaktu-waktu orang-orang yang dia coba selamatkan dengan kematiannya
akan melihatnya, terbaring mati dipangkuan Hagrid.
TIDAK!”
Teriakan itu terasa mengerikan karena dia tak pernah menduga atau memimpikan bahwa
that Professor McGonagall mampu mengeluarkan suara semacam itu. Dia mendengar
seorang wanita lain tertawa di dekatnya, dan tahu kalau Bellatrix gembira sekali atas
keputusasaan McGonagall. Dia kembali membuka mata sekejap, dan melihat pintu masuk
yang terbuka dipenuhi orang sementara mereka yang selamat dari pertempuran berjalan ke
anak tangga luar untuk menghadap penakluk mereka dan melihat kebenaran tentang matinya
Harry dengan mata mereka sendiri. Dia melihat Voldemort berdiri sedikit di depannya,
mengelus-elus kepala Nagini dengan satu jari putihnya. Dia tutup matanya kembali.
“Tidak!”
“Tidak!”
“Harry! HARRY!”
Suara Ron, Hermione, dan Ginny lebih mengerikan dari suara McGonagall; satu-satunya
keinginan Harry sata itu adalah untuk membalas panggilan mereka, tapi dia tetap berbaring
diam. Dan teriakan mereka tadi memicu teriakan dan jeritan orang-orang lain, memaki-maki
para Pelahap Maut, hingga –“
“DIAM!” seru Voldemort, dan terdengar letusan disertai kilatan cahaya terang, dan mereka
semua dipaka diam. “Semua sudah berakhir. Turunkan dia, Hagrid, di kakiku, tempat
dimana dia seharusnya berada!”
Harry merasakan tubuhnya diturunkan ke atas rerumputan.
“Kalian lihat?” kata Voldemort, dan Harry merasa dia melangkah maju-mundur di samping
tempatnya tergeletak. “Harry Potter sudah mati! Kalian mengerti sekarang, kalian orangorang
yang tertipu?”Dia tidak ada apa-apanya, dari dulu, Cuma anak yang mengandalkan
orang lain berkorban untuk dirinya!”
“Dia mengalahkanmu!” teriak Ron, dan mantera Voldemort tadi pecah dan para pembela
Hogwarts kembali menjerit-jerit dan berteriak-teriak hingga letusan kedua, yang lebih
nyaring melenyapkan suara mereka kembali.
“Dia terbunuh sewaktu mencoba menyelinap keluar dari halaman kastil”, kata Voldemort,
ada kenikmatan dalam suaranya ketika mengucapkan kebohongan itu, “terbunuh sewaktu
mencari selamat sendiri-“
Tapi ucapan Voldemort tiba-tiba terputus: Harry mendengar perkelahian, dan suara letusan
lagi, kilatan cahaya, dan jerit kesakitan; dibukanya matanya sedikit sekali. Seseorang telah
melompat keluar dari kerumunan dan menyerang Voldemort; dia lihat orang itu terjatuh ke
tanah. Voldemort melucutinya dan membuang tongkat si penantang sambil tertawa.
“Dan siapa ini?”, dia bertanya dengan suara desisan ular. “Siapa yang rela menunjukkan apa
yang terjadi kepada mereka yang terus melawan padahal sudah kalah?”
Bellatrix melontarkan tawa gembira.
“Itu Neville Longbottom, Tuanku! Anak yang begitu merepotkan Carrow! Anak sang
Auror, Tuanku ingat?”
“Ah, ya, Aku ingat”, kata Voldemort sambil menatap Neville yang sedang berusaha berdiri
kembali, tanpa senjata, tanpa perlindungan, berdiri di tanah tak bertuan di tengah-tengah
para pejuang yang selamat dan para Pelahap Maut. “Tapi kau ini berdarah murni, bukan,
Bocah berani?” Voldemort bertanya kepada Neville yang berdiri menghadapnya, tangan
kosongnya mengepal.
“Memangnya kalau betul kenapa?” kata Neville dengan suara nyaring.
“Kau memperlihatkan semangat dan keberanian, dan kau berasal dari keturunan ningrat.
Kau akan menjadi Pelahap Maut yang sangat berguna. Kami perlu orang semacam kau,
Neville”
“Aku akan bergabung jika neraka dingin membeku”, kata Neville. “Laskar Dumbledore !”
teriaknya dan dibalas seruan dari kerumunan itu, agaknya Mantera Penenang Voldemort
tidak cukup kuat menahan mereka.
“Baiklah kalau begitu”, kata Voldemort, dan Harry mendengar adanya lebih banyak bahaya
dalam suara halusnya dibanding kutukan paling hebat. “Jika itu pilihanmu, Longbottom, kita
kembali ke rencana semula. Berdiri tegak” katanya pelan, “jadilah seperti itu”
Masih mengamati dari bulu matanya, Harry melihat Voldemort menggerakkan tongkatnya.
Sesaat kemudian dari salah satu jendela kastil yang rusak, sesuatu yang mirip burung
berbentuk aneh terbang dan mendarat di tangan Voldemort. Dia melambai-lambaikan benda
itu dengan ujung jarinya dan benda itu terayun-ayun, kosong dan acak-acakan: Topi Seleksi
(Sorting Hat)
“Takkan ada lagi Topi Seleksi di sekolah Hogwarts,” kata Voldemort. Takkan ada lagi
pembagian kelompok. Lencana, perisai dan warna-warna leluhurku, Salazar Slythering
cukup untuk semua orang. Bukankah begitu, Neville Longbottom?”
Dia mengarahkan tongkatnya kepada Neville, yang diam kaku, dan memaksakan topi itu ke
kepala Neville, sampai turun melewati matanya. Ada gerakan-gerakan dari kerumunan yang
menyaksikan di depan kastil, dan serentak para Pelahap Maut mengangkat tongkat mereka,
menghempang para pejuang Hogwarts itu.
“Neville sekarang akan mendemonstrasikan apa yang akan terjadi kepada orang yang begitu
bodoh terus menentangku”, kata Voldemort, dan dengan jentikan tongkatnya dia membuat
Topi Seleksi terbakar hangus.
Jeritan-jeritan membahana di subuh hari itu, dan Neville terbakar, terpaku di tempat, tak
dapat bergerak dan Harry tak lagi bisa menahannya: Dia mesti bertindak -
Kemudian banyak peristiwa terjadi pada saat yang bersamaan.
Mereka mendengar hingar-bingar dari perbatasan luar kompleks sekolah ketika apa yang
terdengar seperti ratusan orang bergerombol melompati dinding menyerbu kastil sambil
meneriakkan jerit perang. Pada saat yang sama, Grawp datang dari balik kastil dengan
langkah beratnya dan berseru “HAGGER!”. Teriakannya dibalas kegaduhan kedua raksasa
milik Voldemort: mereka berlari ke arah Grawp, langkah-langkah mereka menimbulkan
getaran bagai gempa bumi. Lalu datanglah derap kaki-kaki berkuku dan bunyi busur yang
ditarik, dan mendadak anak-anak panah menghujani para Pelahap Maut yang menjerit kaget
lalu membubarkan barisan. Harry menarik Jubah Gaib dari balik jubahnya, mengenakannya
dan melompat bangkit, sementara Nevill juga bergerak.
Dengan satu gerakan tangkas lagi lentur Neville membebaskan diri dari Kutuk Ikatan
Tubuh; Topi Seleksi yang sedang menyala telah terjatuh lepas darinya dan dia menarik
sesuatu dari dalamnya, keperakan, dengan gagang batu delima yang berkilau -
Tebasan bilah keperakan itu tak terdengar, tenggelam oleh hingar bingar kerumunan yang
sadang datang atau bunyi para raksasa yang sedang bertarung atau derap kaki para centaur,
namun begitu semua mata seolah tertuju ke sana. Dengan satu ayunan Neville menebas
putus kepala si ular yang lalu terlontar tinggi ke udara, berkilat dalam pancaran cahaya dari
dalam ruang masuk aula, dan mulut Voldemort terbuka meneriakkan jerit amarah yang tak
terdengar oleh siapapun, lalu tubuh ular itu berdebam ke tanah, dekat kakinya -
Tersembunyi di balik Jubah Gaib, Harry melontarkan Mantera Pelindung di antara Neville
dan Voldemort sebelum Voldemort mengangkat tongkatnya. Lalu, mengatasi semua jeritan
dan hingar-bingar dan dentaman kaki para raksasa yang teru bertarung, teriakan Hagrid
terdengar paling nyaring.
“HARRY!” teriak Hagrid, “HARRY – DIMANA HARRY?”
Kekacauan merajalela. Centaur-centaur yang menyerbu membuat para Pelahap Maut kocarkacir,
tiap orang berusaha lolos dari injakan kaki para raksasa, dan bunyi bala bantuan yang
satang menyerbu entah dari mana makin mendekat, Harry melihat makhluk-makhluk
bersayap membubung di sekeliling kepala raksasa-raksasa milik Voldemort, thestral dan
Buckbeaksang Hippogriff mencakari mereka sementara Grawp meninju mereka bertubitubi,
dan kini para ahli sihir, pembela-pembela Hogwarts begitu juga para Pelahap Maut
terdesak masuk ke dalam kastil. Harry menembakkan sihir dan kutukan kepada setiap
Pelahap Maut yang terlihat, dan mereka rebah tanpa tahu apa atau siapa yang telah
menghantam mereka, dan tubuh mereka terinjak-injak kerumunan yang mundur itu.
Masih tersembunyi di balik Jubah Gaibnya Harry masuk ruang depan aula: Dia sedang
mencari Voldemort dan melihatnya di seberang ruangan, sibuk melontarkan mantera dari
tongkatnya sambil mundur ke dalam Aula Besar, sambil tak lupa memberi instruksi kepada
para pengikutnya. Harry melontarkan lebih banyak Mantera Pelindung, dan calon korban
Voldemort, Seamus Finnigan dan Hannah Abbott ebrgerak melewatinya ke dalam Aula
Besar, dimana mereka bergabung dalam pertempuran yang sudah berlangsung sejak tadi.
Dan kini semakin banyak, jauh lebih banyak orang menyerbu naik anak tangga depan, dan
Harry melihat Charlie Weasly menyusul Horace Slughorn yang masih mengenakan piyama
zamrudnya. Mereka sepertinya kembali memimpin orang-orang yang tampaknya adalah
para anggota keluarga dan sahabat-sahabat dari siswa-siswa Hogwarts yang terus bertarung
bersama para pemilik toko dan rumah di Hogsmeade. Centaur Bane, Ronan dam Magorian
menerjang masuk aula dengan gemerincing kuku mereka, sehingga daun pintu yang menuju
dapur di belakang Harry terhempas lepas dari engselnya.
Peri-peri eumah Hogwarts berbondong-bondong masuk ruang depan aula, menjerti-jerit
sambil melambai-lambaikan pisau dan golok, dan yang memimpin mereka adalah Kreacher
yang mengenakan liontin Regulus Black di dadanya. Suaranya yang besar terdengar
mengatasi keriuhan.: Lawan! Lawan! Lawan demi Tuanku, pembela peri-peri rumah!
Lawan Pangeran Kegelapan, demi nama Regulus yang gagah perkasa! Lawan!”
Mereka menyayat dan menusuk mata dan pergelangan kaki para Pelahap Maut, wajah
mereka dipenuhi kebencian, dan dimana-mana Harry melihat para Pelahap Maut terdesak
oleh jumlah lawan yang begitu banyak, ditaklukkan dengan mantera, menarik anak panah
yang tertancap di tubuh, ditikam di kaki oleh para peri rumah, atau mencoba melarikan diri,
tapi tertelan kerumunan yang menerjang masuk
Tapi semua belum berakhir: Harry bergerak cepat melewati mereka yang sedang bertarung,
orang-orang yang tertawan dan masuk ke Aula Besar.
Voldemort berada di tengah-tengah pertempuran, dan dia sedang memukul dan menghantam
segala yang terjangkaunya. Harry tak bisa menemukan sudut yang bagus untuk menyerang,
tapi dia terus mendekat, masih tak terlihat, dan Aula Besar makin dan makin ramai ketika
setiap orang berusaha memaksa masuk.
Harry melihat Yaxley terhempas ke lantai dikalahkan George dan Lee Jordan, melihat
Dolohov terjatuh sambil menjerit dikalahkan Flitwick, melihat Walden Macnair terlempar
ke seberang ruangan oleh Hagrid, menghantam dinding dan menggelincir tak sadar di
lantai. Dia melihat Ron dan Neville menjatuhkan Fenrir Greyback, Aberforth menghantam
Stunning Rookwood, Arthur dan Percy membuat Thicknesse tergeletak dilantai, dan Lucius
dan Narcissa Malfoy berlari menerobos kerumunan, tanpa niat bertarung, menjerit-jerit
mencari anak mereka.
Voldemort sekarang berduel dengan McGonagall, Sloughorn dan Kingsley sekaligus, dan
kebencian yang dingin memancar dari wajahnya sementara mereka menyerang dan
mengelak di sekelilingnya tanpa bisa menghabisisnya -
Bellatrix juga sedang bertarung, lima puluh meter jauhnya dari Voldemort, dan seperti
tuannya dia melawan tiga orang sekaligus: Hermione, Ginny dan Luna, yang bertarung
sekuat tenaga, namun Bellatrix dapat mengimbangi mereka, dan perhatian Harry teralih
ketika lontaran Kutukan Pembunuh begitu dekat ke arah Ginny, meleset hanya satu inci -
Dia berubah haluan, berlari bukan ke arah Voldemort tapi Bellatrix, tapi belum jauh dia
berlari mendadak tubuhnya terdorong ke samping.
“JANGAN PUTERIKU, DASAR PEREMPUAN JALANG!”
Nyonya Weasley melemparkan mantelnya sambil berlari, membuat lengannya bebas
bergerak. Bellatrix berputar di tempatnya, tertawa terbahak-bahak melihat penantang
barunya.
“BERI AKU JALAN!” teriak Nyonya Weasley kepada ketiga gadis itu, dan dengan satu
kibasan diapun memulai duel. Harry menyaksikan dengan ngeri bercampur gembira
sementara tongkat Molly Weasley mengayun dan berputar, dan senyum Bellatrix Lestrange
berubah jadi geraman. Percikan-percikan cahaya meloncat terbang dari kedua tongkat
mereka, lantai di sekeliling kedua ahli sihir itu menjadi panas dan retak-retak; kedua
perempuan itu bertarung untuk membunuh.
“Jangan!” teriak Nyonya Weasley ketika beberapa siswa maju untuk membantunya.
“Mundur! Mundur! Dia milikku!”
Ratusan orang kini berbaris dekat dinding menyaksikan kedua pertarungan itu, Voldemort
melawan tiga penantangnya dan Bellatrix vs Molly, dan Harry berdiri tak terlihat, bimbang
antara keduanya, ingin menyerang tapi juga melindungi, tak bisa yakin kalau serangannya
tak akan mengenai pihak yang tak bersalah.
“Apa yang akan terjadi pada anak-anakmu setelah aku membunuhmu?” ejek Bellatrix,
marah seperti tuannya, sambil berloncatan sementara kutukan-kutukan Molly
mengepungnya. “Ketika Ibu lenyap seperti Freddie?”
“Kau – tidak – akan – pernah – menyentuh – anak – kami – lagi!” seru Nyonya Weasley.
Bellatrix mengeluarkan tawa gembira seperti tawa sepupunya Sirius ketika roboh ke
belakang melalui selubung, dan mendadak Harry tahu apa yang akan terjadi.
Kutukan Molly meluncur di bawah lengan Bellatrix yang terentang dan menghantamnya di
dada, tepat di atas jantungnya.
Senyum Bellatrix membeku, matanya tampak menonjol ke luar: untuk sepersekian detik dia
sadar apa yang terjadi, dan kemudian dia roboh, dan kerumunan penonton bersorak-sorai
dan Voldemort menjerit.
Harry merasa seolah-olah dirinya masuk adegan gerak-lambat: dia melihat McGonagall,
Kingsley dan Slughorn terpental ke belakang, menggeliat-geliat kesakitan ketika amarah
Voldemort atas jatuhnya pembantu terbaiknya, meledak bagaikan bom, Voldemort
mengangkat tongkatnya dan mengarahkannya ke Molly Weasley.
“Protego!” seru Harry, dan Mantera Pelindung mengambang di tengah Aula, dan Voldemort
menatap sekelilingnya, mencari sumber mantera itu ketika Harry akhirnya menanggalkan
Jubah Gaib.
Jeritan kaget, seruan gembira dan teriakan: “Harry! DIA MASIH HIDUP!” terdengar
sekaligus. Kerumunan itu takut, dan keadaan mendadak sangat hening ketika Voldemort dan
Harry berpandangan satu sama lain, dan pada saat yang sama saling mengitari satu sama
lain.
“Aku tak mau ada yang membantu”, kata Harry keras-keras, dan dalam keheningan total
suaranya terdengar bagaikan terompet perang. “Beginilah seharusnya. Akulah yang harus
melakukannya”
Voldemort mendesis.
“Potter tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya”, katanya, mata merahnya melebar.
“Bukan begini cara dia bertindak, bukan?. Siapa yang akan kau jadikan pelindungmu kali
ini, Potter?”
“Tidak ada”, kata Harry. “Tak ada lagi Horcrux. Cuma kau dan aku. Yang satu takkan bisa
hidup jika yang satunya selamat, dan salah satu di antara kita akan lenyap untuk
selamanya…”
“Salah satu?” ejek Voldemort, sekujur tubuhnya menegang dan mata merahnya menatap
tajam, bagai seekor ular yang siap menyerang. “Kau pikir kaulah orangnya bukan? Anak
yang telah selamat karena kebetulan, dan karena Dumbledore telah meninggalkan kalian?”
“Kebetulankah, ketika ibuku mati menyelamatkanku?” tanya Harry. Mereka berdua masih
bergerak ke samping, membentuk lingkaran penuh, menjaga jarak yang tetap dari satu sama
lain, dan bagi Harry tak ada siapapun di sana kecuali Voldemort . “Kebetulankah, ketika aku
memutuskan bertarung di pekuburan? Kebetulankah, bahwa aku tak membela diri malam
ini, tapi masih selamat, dan kembali untuk bertarung lagi?”
“Kebetulan!” teriak Voldemort, tapi dia masih belum menyerang, dan kerumunan yang
menonton diam membatu seolah-olah terkena mantera Pembeku, dan tampaknya dari
ratusan orang yang berada di Aula hanya mereka berdualah yang bernafas. “Kebetulan dan
untung-untungan, dan fakta bahwa kau meringkuk dan merengek di balik para pria dan
wanita yang lebih hebat, dan membiarkanku membunuh mereka demu kau!”
“Kau takkan membunuh siapapun lagi malam ini”, kata Harry sementara mereka memutar
dan saling menatap mata masing-masing, yang hijau ke yang merah. “Kau tak akan mampu
membunuh siapapun dari mereka malam ini. Kau masih belum mengerti juga? Aku siap
mati untuk menghentikanmu menyakiti orang-orang ini -”
“Tapi kau tidak mati!”
“Aku bersungguh-sungguh, dan aku melakukannya. Aku sudah melakukan apa yang
dilakukan ibuku dulu. Mereka terlindung darimu. Belum kau perhatikan jugakah bahwa tak
satupun manteramu yang sanggup mengikat mereka? Kau tak bisa menyiksa mereka. Kau
tak bsia menyentuh mereka. Kau tak belajar dari kesalahanmu, begitu kan Riddle?”
“Beraninya kau –“
“Ya, aku berani”, kata Harry. “Aku mengetahui apa yang tak kau ketahui, Tom Riddle. Aku
mengetahui banyak hal penting yang kau tak tahu. Mau dengar beberapa, sebelum kau bikin
kesalahan besar lain?
Voldemort tak bicara, tapi gerakannya terhenti sejenak, dan Harry tahu kalau dia untuk
sementara terpancing, menduga-duga apakah benar Harry memang tahu rahasia
terakhirnya…
“Kau mau bilang, cinta lagi?”, kata Voldemort, wajah ularnya mengejek. “Solusi favorit
Dumbledore, cinta, yang dia bilang mengalahkan maut, meskipun cinta tak
menghentikannya jatuh dari menara? Cinta, yang tak menghentikanku menginjak ibumu si
darah-lumpur bagaikan kecoa, Potetr – dan tampaknya tak seorangpun cukup mencintaimu
hingga mau maju saat ini untuk menerima kutukanku. Jadi apa yang akan bikin kau tak mati
kalau aku serang?”
“Cuma satu”, kata Harry, dan mereka terus mengitari satu sama lain, tertahan oleh satu
rahasia terkahir.
“Kalau bukan cinta yang akan menyelamatkanmu kali ini”, kata Voldemort, “kau pasti
mengira kau punya sihir yang tak aku miliki, atau sebuah senjata yang lebih hebat dari
punyaku?”
“Aku kira keduanya”, kata Harry dan dia melihat wajah mirip ular itu memancarkan
ekspresi terguncang, meski sebantar kemudian hilang; Voldemort mulai tertawa, dan
suaranya lebih menakutkan daripada jeritan; tanpa humor dan gila, menggema di Aula yang
hening.
“Kau pikir kau lebih tahu sihir dibanding aku?” katanya. “Dibanding Tuan Voldemort yang
telah mempraktekkan sihir yang bahkan belum pernah dimimpikan oleh Dumbledore?”
“Oh, dia memimpikannya”, kata Harry, “tapi dia tahu lebih banyak darimu, tahu untuk tidak
melakukan apa yang telah kau lakukan”
“Maksudmu dia manusia lemah!” teriak Voldemort. “Terlalu lemah untuk bersikap berani,
terlalu lemah untuk merebut apa yang bisa menjadi miliknya, apa yang akan jadi milikku!”
“Tidak, dia lebih pintar darimu”, kata Harry, “ahli sihir dan pria yang lebih baik darimu”
“Akulah yang membuat Albus Dumbledore mati!”
“Pikirmu begitu”, kata Harry, “tapi kau keliru”.
Untuk pertama kalinya kerumunan penonton bergerak ketika ratusan orang di sekeliling
dinding menarik nafas secara serentak.
“Dumbledore sudah mati!” Voldemort melontarkan kata-kata itu seakan-akan bisa membuat
Harry kesakitan. “Mayatnya membusuk di makam pualam di halaman kastil ini. Aku sudah
melihatnya, Potter, dan dia takkan kembali!”
“Ya, Dumbledore sudah mati”, kata Harry tenang, “tapi kau tidak membunuhnya. Dia
memilih sendiri caranya mati, memilihnya berbulan-bulan sebelum mati, merencanakan
semua bersama orang yang kau kira adalah pelayanmu”.
“Kau berkhayal”, kata Voldemort, tapi masih juga belum menyerang, dan mata merahnya
tidak berpaling dari mata Harry.
“Severus Snape bukan di pihakmu”, kata Harry. “Snape ada di pihak Dumbledore. Di pihak
Dumbledore sejak kau mulai memburu ibuku. Dan kau tak pernah menyadarinya karena
suatu hal yang tak bisa kau fahami. Kau tak pernah melihat Snape mengeluarkan Patronus,
betul Riddle?”
Voldemort tak menjawab. Mereka terus memutari satu sama lain bagaikan serigala yang
bersiap saling merobek.
“Patronus milik Snape adalah seekor kijang betina”, jawab Harry, “sama seperti punya
ibuku, karena Snape mencintainya seumur hidupnya, sejak mereka masih kanak-kanak lagi.
Kau seharusnya menyadari itu” dia berkata sambil melihat lubang hidung Voldemort
mengembang, “Snape memintamu membiarkan ibuku tetap hidup, betul kan?”
“Dia berhasrat kepadanya, itu saja”, seringai Voldemort, “tapi ketika dia mati, dia setuju
bahwa masih ada wanita lain, yang berdarah murni yang lebih pantas untuknya –“
“Tentu saja dia bilang begitu padamu”, kata Harry, “tapi dia adalah mata-mata Dumbledore
sejak kau mengancam ibuku, dan sejak saat itu dia bekerja menentangmu! Dumbledore
sudah sekarat ketika Snape menghabisinya!”
“Itu tak jadi masalah!” pekik Voldemort, tadi dia mendengar setiap kata dengan penuh
perhatian, tapi sekarang mengeluarkan pekik tawa tak waras. “Tak jadi masalah apakah
Snape di pihakku atau Dumbledore, atau masalah remeh apa yang mereka coba berikan!
Aku menghancurkan mereka seperti aku menghancurkan ibumu, wanita kecintaan Snape!
Tapi semuanya masuk akal, Potter, masuk akal secara berbeda dari yang kau fahami!”.
“Dumbledore berusaha mencegahku memiliki Tongkat Tua-tua! Dia mau supaya Snape-lah
yang jadi pemilik sejati tongkat itu! Tapi aku tiba di sana lebih dulu darimu, bocah kecil –
aku memegang tongkat itu sebelum kau menyentuhnya, aku tahu kebenaran sebelum kau
menyusul. Aku bunuh Severus Snape tiga jam yang lalu, dan Tongkat Tua-tua, tongkat
maut, tongkat takdir benar-benar jadi milikku! Rencana terakhir Dumbledore gagal, Harry
Potter!”
“Yah, memang betul”, kata Harry, “Kau benar. Tapi sebelum mencoba membunuhku, aku
sarankan kau pikirkan lagi apa yang telah kau lakukan… Pikirkan, tidakkah kau punya
penyesalan?
“Apa pula ini?”
Dari semua yang telah Harry ucapkan kepadanya, melebihi rahasia yang dia beberkan atau
ejekan yang dia sampaikan, tak ada yang membuat syok Voldemort selain yang ini. Harry
melihat pupil matanya mengecil jadi irisan tipis, kulit di sekitar matanya memutih.
“Ini kesempatan terakhirmu”, kata Harray, “Cuma ini yang masih kau punya…aku sudah
melihat apa jadinya kau kalau kau masih meneruskan…jadilah seorang laki-laki, sobalah
menyesali…”
“Beraninya kau –“ kata Voldemort lagi, “Ya, aku berani”, kata Harry, “karena rencana
terakhir Dumbledore sama sekali tidak berbalik padaku, tapi berbalik padamu, Riddle”
Tangan Voldemort yang memegang Tongkat Tua-tua gemetar, dan Harry menggenggam
tongkat Draco erat-erat. Momen yang menentukan itu, dia tahu, sesaat lagi akan tiba.
“Tongkat itu masih tak berfungsi dengan baik bagimu karena kau membunuh orang yang
salah. Severus Snape takpernah jadi pemilik sejati Tongkat Tua-tua. Dia tak pernah
mengalahkan Dumbledore”
“Dia membunuh –“
“Kau menyimak tidak? Snape tak pernah mengalahkan Dumbledore! Kematian Dumbledore
sudah direncanakan mereka berdua! Dumbledore memang ingin mati, tanpa dikalahkan,
dialah pemilik sejati terakhir tongkat itu! Kalau rencana itu berjalan baik, maka kekuatan
tongkat itu akan mati bersamanya, karena tongkat itu tak pernah dimenangkan dari dia!”
“Tapi, Potter, Dumbledore sama saja dengan sudah menyerahkan tongkat itu kepadaku”,
suara Voldemort bergetar dengan nada puas yang jahat. “Aku mencuri tongkat ini dari kubur
pemilik terakhirnya! Aku ambil dia di luar kemauan tuannya yang terakhir! Kekuatannya
jadi milikku!”
“Kau masih belum mengerti juga rupanya, Riddle? Memiliki tongkat itu tidaklah cukup.
Memegangnya, menggunakannya, tidak membuatnya menjadi milikmu sesungguhnya.
Tidakkah kau dengar kata-kata Ollivander? Tongkatlah yang memilih tuannya…Tongkat
Tua-tua mengenali tuannya yang baru sebelum Dumbledore wafat, seseorang yang belum
pernah menyentuhnya. Tuan barunya melepaskan tongkat itu dari Dumbledore di luar
kemauan Dumbledore sendiri, tanpa menyadari apa sebenarnya yang telah dia lakukan,
tanpa menyadari bahwa tongkat paling berbahaya di dunia telah menyatakan kesetiaan
kepadanya…”
Dada Voldemort kembang kempis dengan cepat, dan Harry bisa merasakan datangnya
kutukan, merasakannya terbentuk di dalam tongkat yang terarah ke wajahnya.
“Pemilik sejati Tongkat Tua-tua adalah Draco Malfoy”
Keterkejutan hampa terpampang di wajah Voldemort untuk sesaat, tapi kemudian berlalu.
“Itu tak jadi masalah,” katanya pelan. “Kalaupun kau benar, Harry, taoh tak ada bedanya
buatmu dan aku. Kau tak lagi punya tongkat burung phoneix: kita berduel semata-mata
mengandalkan keahlian…dan setelah membunuhmu akiu bisa mencari Malfoy…”
Tapi kau sudah terlambat”,kata Harry. “Kesempatan terakhirmu sudah lewat. Aku sampai
lebih dulu. Aku mengalahkan Draco berminggu-minggu lalu. Aku ambil tongkatnya dari
dia”
Harry mengacungkan tongkat di tangannya dan mata semua orang di Aula tertuju ke benda
itu.
“Jadi semuanya akhirnya berujung pada soal ini, bukan?” bisik Harry. “Apakah tongkat di
tanganmu tahu kalau pemilik terakhirnya sudah dilucuti? Karena kalau ia memang
tahu…Akulah pemilik sejati Tongkat Tua-tua”
“Semburat cahaya merah tiba-tiba melintasi angkasa di atas mereka ketika sinar matahari
muncul dari atas jendela dekat mereka. Cahaya itu jatuh ke wajah mereka berdua pada
waktu yang bersamaan, sehingga Voldemort mendadak terlihat kabur. Harry mendengar
pekikan tinggi sementara dia juga berseru sekeras-kerasnya ke langit sambil mengarahkan
tongkat Draco:
“Avada Kedavra!”
“Expelliarmus!”
Terdengar letusan bagaikan tembakan meriam, dan nyala keemasan yang meledak di antara
mereka mereka, tepat di pusat lingkaran yang mereka bentuk, menandai titik dimana
mantera mereka bertumbukan. Harry melihat pancaran hijau mantra Voldemort beradu
dengan mantranya sendiri, melihat Tongkat Tua-tua melayang tinggi, gelap kontras terhadap
cahaya matahari pagi, berputar-putar diudara bagaikan kepala Nagini, berputar menuju
tuannya yang tak akan dibunuhnya, tuan yang pada akhirnya datang untuk mengambil
kepemilikan tongkat itu sepenuhnya. Dan Harry, dengan kecakapan tanpa cela seorang
Seeker, menangkap tongkat itu dengan tangannya yang bebas sementara Voldemort jatuh ke
belakang dengan kedua lengan terbentang, mata merahnya yang berpupil tipis berputar ke
atas. Tom Riddle menghantam lantai, tubuhnya layu dan mengkerut, tangan putihnya
kosong, wajahnya yang mirip ular kini hampa sama sekali. Voldemort mati, terbunuh oleh
kutukan sendiri yang berbalik menyerangnya, dan Harry berdiri dengan dua tongkat di
tangannya, menatap mayat musuhnya.
Untuk sejenak keheningan terasa mencekam, perasaan syok menggantung di udara: lalu
kegemparan pecah di sekeliling Harry ketika jeritan, sorak sorai dan raungan membelah
udara. Mentari pagi bersinar menerangi jendela Aula sementara mereka menerjang ke arah
Harry, dan yang pertama mencapainya adalah Ron dan Hermione, dan lengan mereka
memeluknya disertai teriakan memekakkan yang sulit dimengerti. Kemudian Ginny, Neville
dan Lunapun ada di sana, disusul seluruh anggota keluarga Weasley dan Hagrid, juga
Kingsley dan McGonagall dan Flitwick dan Sprout, dan Harry tak bisa mendengar satu
katapun yang diteriakkan, dan tak bisa memastikan tangan siapa yang sedang menariknya,
mencoba memeluk sebgaian tubuhnya, ratusan dari mereka mendesak, semuanya bertekad
menyentuh Anak Yang Selamat, yang membuat semuanya berakhir -.
Matahari meninggi di atas Hogwarts, dan Aula Besar terang benderang oleh cahaya dan
kehidupan. Harry menjadi bagian utama dari apa yang berlangsung di sana, campuran antara
tumpahan kegirangan dan perkabungan, antara dukacita dan perayaan. Mereka
menginginkan dia di sana, pemimpin dan simbol, penyelamat dan penuntun mereka, dan
nampaknya tak seorangpun menyadari bahwa dia sudah lama tak tidur dan merindukan
ditemani hanya oleh beberapa diantara mereka saja. Dia mesti berbicara kepada mereka
yang kehilangan, menggenggam tangan mereka, menyaksikan air mata mereka, menerima
ucapan terima kasih mereka, menerima berita dari segala penjuru sementara pagi beranjak
ke siang; bahwa di mana-mana orang yang terkena kutuk Imperius telah terbebas, bahwa
para Pelahap Maut telah melarikan diri atau tertangkap, bahwa orang-orang tak bersalah
yang dijebloskan ke Azkaban telah dibebaskan saat itu juga, dan bahwa Kingsley
Shacklebolt telah diangkat sebagai pejabat sementara Kementerian Sihir.
Mereka memindahkan mayat Voldemort dan meletakkannya di sebuah kamar di Aula,
terpisah dari mayat Fred, Tonks, Lupin, Colin Creevey dan lima puluh lainnya yang gugur
menentangnya. McGonagall telah menggantikan meja-meja Asrama, tidak lagi bahwa tiap
orang harus duduk menurut Asramanya; mereka bercampur-aduk, guru dan murid, hantu
dan orangtua, centaur dan peri-rumah, dan Firenze berbaring memulihkan diri di lantai, dan
Grawp mengintip dari jendela pecah, dan orang-orang melemparkan makanan ke mulutmulutt
mereka sambil tertawa-tawa. Sesudah beberapa lama, lelah dan terkuras, Harry
terduduk di bangku di samping Luna.
“Kalau aku jadi kau, aku pasti akan mencari tempat sepi dan tenang”, katanya.
“Ya, memang aku memerlukannya”, jawabnya.
“Aku akan mengalihkan perhatian mereka semua”, katanya, “Pakai Jubah Gaibmu”
Dan sebelum Harry mengucapkan apapun, Luna berteriak, “Ooohh, lihat, Blibbering
Humdinger!!” dan menunjuk ke luar jendela. Semua yang mendengar menoleh dan Harry
menutupi tubuhnya dengan Jubah Gaibnya dan berdiri.
Kini dia bisa bergerak sepanjang Aula tanpa diganggu. Dia menemukan Ginny dua meja
jauhnya; dia sedang duduk bersandar di bahu ibunya: nanti akan ada banyak waktu untuk
mereka bicara, berjam-jam, berhari-hari, bahkan mungkin bertahun-tahun waktu yang akan
mereka miliki. Dia melihat Neville, makan di kelilingi pengagum yang antusias sementara
pedang Gryffindor tergeletak di samping piringnya. Dia melangkah di antara barisan meja
dan menemukan ketiga anggota keluarga Malfoy, berkerumun seakan tak yakin apakah
mereka patut atau tidak berada di sana, tapi tak ada yang memperhatikan mereka.
Kemanapun dia mengarahkan mata, dia melihat keluarga-keluarga berkumpul kembali, dan
akhirnya dia melihat dua orang yang kehadirannya paling dia rindukan.
“Ini aku” gumamnya sambil membungkuk di tengah-tengah mereka, “Mau ikut aku?”
Mereka segera berdiri, dan bersama-sama, dia, Ron dan Hermione meninggalkan Aula
Besar. Sebagian besar dari anak tangga marmer telah hilang, begitu pula dengan
pegangannya, dan serpihan-serpihan dan noda darah berkali-kali mereka temukan sementara
mereka naik.
Di kejauhan mereka dapat mendengar Peeves melintasi koridor-koridor sambil
menyanyikan lagu kemenangan gubahan sendiri:
Kita berhasil, kita hancurkan mereka, wee…Potter lah orangnya, dan Voldy sudah lapuk,
mari bersenang-senang!
“Benar-benar menggambarkan apa yang telah terjadi bukan?” kata Roni sambil mendorong
pintu untuk Harry dan Hermione.
Kebahagiaan akan datang, pikir Harry, tapi saat ini perasaannya teredam oleh kelelahan
yang amat sangat, dan sakit karena kehilangan Fred, Lupin dan Tonks menusuknya
bagaikan luka fisik setiap dia melangkah. Tapi diatas itu semua, dia merasakan kelegaan
luar biasa, dan keinginan yang hebat untuk tidur. Tapi pertama-tama dia berhutang
penjelasan kepada Ron dan Hermione, yang telah setia bersamanya begitu lamanya, dan
yang patut mengetahui kebenaran. Dengan bersusah payah dia ceritakan kembali apa yang
telah dia lihat di Pensieve dan apa yang terjadi di hutan, dan mereka belum lagi menyatakan
keterkejutan mereka ketika akhirnya mereka tiba di tujuan langkah-langkah mereka, meski
tadi tak seorangpun menyebut-nyebut soal tujuan.
Sejak kali terakhir dia melihatnya, gargoyle yang menjaga pintu masuk ruang kepala
sekolah telah terdorong ke samping, berdiri berat sebelah, terlihat sempoyongan seperti baru
kena tinju, dan Harry bertanya-tanya apakah dia masih bisa membedakan kata-kata kunci.
“Bolehkah kami naik?” tanyanya kepada si gargoyle.
“Silahkan”, kata patung itu.
Mereka memanjat naik ke atasnya dan ke anak tangga batu berbentuk spiral yang bergerak
naik perlahan bagaikan eskalator. Harry mendorong terbuka pintu di puncak.
Sekilas dia melirik Pensieve yang telah dia tinggalkan di atas meja, dan kemudian bunyi
memekakkan telinga membuatnya menjerit, membayangkan kutuk dan Pelahap Maut yang
kembali dan Voldemort yang lahir kembali -
Tapi ternyata itu adalah bunnyi tepuk tangan. Dari sekeliling dinding, para kepala sekolah
Hogwarts memberi dia applause sambil berdiri; mereka melambai-lambaikan topi mereka
dan bahkan wig mereka, mereka menjulurkan tangan melalui pigura saling berpegangan;
mereka mencari-nari di kursi mereka: Dilys Derwent tanpa malu-malu menangis; Dexter
Fortescue menggoyang-goyangkan telinga-terompetnya; dan Phineas Nigellus berseru
dengan nada tinggi, “Dan biarlah jadi perhatian bahwa Rumah Slytherin menjalankan
peranannya! Biarlah sumbangsih kita tak dilupakan!”
Tapi mata Harry tertuju hanya kepada pria yang berdiri di potret paling besar tepat di
belakang kursi kepala sekolah. Air mata jatuh di balik kaca mata berbentuk bulan separuh,
bergulir ke janggut peraknya yang panjang, dan kebanggaan dan rasa terima kasih yang
memancar dari dirinya memenuhi Harry bagaikan nyanyian phoenix.
Akhirnya Harry mengangkat tangan dan potret-potret di dinding mendadak diam dengan
hormat, berseri-seri sambil mengusap air mata, dan dengan antusias menunggu Harry
bicara. Namun dia mengarahkan kata-katanya kepada Dumbledore, dan memilih katakatanya
dengan cermat. Meskipun lelah dan matanya berat, dia mesti melakukan usaha
terakhir, meminta saran terakhir.
“Benda yang tersembunyi dalam Snitch”, kata memulai, “Aku menjatuhkannya di hutan.
Persisnya aku tidak tahu, tapi aku tak akan mencarinya lagi. Apakah Anda setuju?”
“Aku setuju Nak”, kata Dumbledore, sementara rekan-rekannya terlihat bingung dan
penasaran. “Keputusan bijak dan berani, tapi tak kurang dari itulah yang aku harapkan
darimu. Apa ada orang lain yang tahu dimana jatuhnya?”
“Tidak ada”, kata Harry dan Dumbledore mengangguk puas.
“Tapi aku akan menyimpan hadiah dari Ignotus”, kata Harry dan Dumbledore tersenyum.
“Tentu saja, Harry, itu milikmu selamanya, sampai kau meneruskannya!”
“Dan juga ada ini”.
Harry mengangkat Tongkat Tua-tua, dan Ron dan Hermione memandang benda itu dengan
ekspresi takzim yang tak disukai Harry.
“Aku tak menginginkannya”, kata Harry.
“Apa?” seru Ron, “Kau gila ya!”
“Aku tahu benda ini kekuatannya hebat sekali”, kata Harry dengan nada letih. “Tapi aku
lebih senang dengan punyaku. Jadi…”
Dia meraba-raba ke dalam kantong yang tergantung di lehernya, dan menarik keluar dua
paruh tongkat kayu holly yang patah, yang masih terhubung oleh bulu phoenix. Hermione
bilang benda itu tak mungkin lagi diperbaiki, bahwa kerusakannya sudah terlalu parah.
Yang dia tahu adalah, kalau yang ini tidak mampu memperbaikinya, tak ada lagi yang bisa.
Dia meletakkan tongkat yang patah itu di atas meja sang kepala sekolah, menyentuhnya
dengan ujung Tongkat Tua-tua, dan mengucapkan, “Reparo”
Dan tongkatnya menyatu kembali, percikan-percikan merah terbang dari ujungnya. Harry
tahu dia sudah berhasil. Dia angkat tongkat kayu holly dan phoenix itu dan mendadak
merasakan hawa hangat di jemarinya, seakan-akan tongkat dan tangannya bersukacita atas
reuni mereka.
“Aku menaruh Tongkat Tua-tua (Elder Wand)”, dia memberitahu Dumbledore yang sedang
menyaksikannya dengan sikap sayang dan bangga yang meluap, “kembali ke tempat dari
mana dia datang. Dia bisa tinggal di sana. Kalau aku meninggal secara alami seperti
Ignotus, kekuatannya akan punah bukan?” Tuannya tidak akan pernah dikalahkan. Dengan
begitu dia berakhir”
Dumbledore mengangguk. Mereka tersenyum satu sama lain.
“Apa kau yakin?” kata Ron. Ada sedikit nada mendamba dalam suaranya ketika menatap
Tongkat Tua-tua.
“Aku pikir Harry benar”, kata Hermione pelan.
“Tongkat itu lebih banyak bikin masalah daripada kebaikan”, kata Harry, “Dan sejujurnya”,
dia berpaling dari potret-potret itu dan kini hanya memikirkan ranjang dengan empat poster
yang menunggunya di Menara Gryffindor, dan bertanya-tanya apakah Kreacher akan
membawakannya sandwicth ke sana, “Aku sudah cukup mendapat masalah untuk seumur
hidup”
EPILOG
SEMBILAN BELAS TAHUN KEMUDIAN
Musim sepi kelihatannya tiba mendadak tahun itu. Pagi pertama bulan September terasa
segar bagaikan apel, dan sementara keluarga kecil itu bergerak sepanjang jalan yang penuh
suara gaduh menuju stasiun, asap kendaraan dan nafas para pejalan kaki mengambang
bagaikan jaring laba-laba di udara dingin. Dua sangkar besar berderik-derik di bagian paling
atas troli yang penuh muatan sementara kedua orangtua mendorongnya; burung hantu di
dalamnya berkukuk marah, dan gadis berambut merah berjalan ketakutan di belakang
saudara-saudara laki-lakinya sambil memegang lengan ayahnya.
“Tidak lama lagi, kau akan pergi juga”, kata Harry kepadanya.
“Dua tahun”, dengus Lily, “Aku mau pergi sekarang!”
“Orang-orang di stasiun itu menatap penasaran burung-burung hantu ketika keluarga itu
bergerak menuju palang diantara peron 9 dan 10, suara Albus terdengar di telinga Harry
mengatasi keramaian; putera-puteranya melanjutkan pertengkaran mereka yang tadi sudah
di mulai di dalam mobil.
“Nggak! Aku nggak mau jadi Slytherin!”
“James, sudahlah!” kata Ginny.
“Aku kan cuma bilang mungkin saja”, kata James sambil menyeringai ke arah adiknya.
“Nggak apa-apa kan, kalau dia jadi Slyth-“
Tapi James menangkap tatapan mata ibunya dan terdiam. Kelima anggota keluarga Potter
mendekati palang. Sambil melemparkan pandangan sedikit congkak ke arah adiknya lewat
bahunya, James mengambil troli dari ibunya dan segera berlari. Sebentar kemudian dia
sudah lenyap.
“Kalian akan mengirimku surat kan?” Albus segera bertanya kepada ayah ibunya.
“Setiap hari, kalau kau mau”, kata Ginny.
“Jangan setiap hari”, kata Albus cepat, “James bilang kebanyakan orang cuma menderima
surat dari rumah sebulan sekali”
“Kami mengirim James tiga kali tahun lalu”, kata Ginny.
“Dan kami nggak mau kau percaya semua apa yang dia katakan tentang Hogwarts”, Harry
menambahkan. “Kakakmu itu suka membanyol”
Berjalan berdampingan, mereka mendorong troli kedua maju makin cepat. Ketika mencapai
palang, Albus mengeryit tapi tidak terjadi benturan. Malahan keluarga itu muncul di peron
93/4 yang diselimuti uap putih tebal yang keluar dari kereta Hogwarts Express. Sosok-sosok
tak jelas bergerak bergerombol menembus kabut, kearah mana James sudah menghilang..
“Di mana mereka?” tanya Albus antusias sambil mengamati sosok-sosok kabur yang
mereka lewati.
“Mereka akan kita temukan”, kata Ginny dengan nada pasti.
Tapi kabut itu sangat tebal, dan sulit mengenali wajah orang. Suara-suara yang terucap
tanpa orangnya terlihat, terdengar keras tak wajar, Harry merasa mendengar Percy berbicara
keras-keras mengenai peraturan sapu terbang, dan dia senang tak perlu berhenti
mengucapkan salam.
“Al, itu sepertinya mereka” mendadak Ginny berkata.
Sekelompok orang muncul dari kabut, berdiri di samping gerbong terakhir. Wajah mereka
makin jelas ketika Harry, Ginny, Lily, dan Albus mendekat.
“Hi”, kata Albus dengan nada penuh kelegaan.
Rose yang sudah mengenakan jubah Hogwartsnya yang baru, tersenyum padanya.
“Parkirnya mulus?” Ron bertanya kepada Harry. “Kalau aku mulus. Hermione tak percaya
aku lulus ujian mengemudi kaum Muggle, iya kan? Dia pikir aku harus memanterai petugas
ujiannya”
“Aku tidak bilang begitu” kata Hermione, “Aku sepenuhnya yakin padamu”
“Sebenarnya aku memang mengacaukan si penguji dengan mantera”, bisik Ron ke telinga
Harry ketika mereka mengangkat koper dan burung hantu Albus ke dalam kereta, “Aku
cuma lupa melihat kaca spion, dan kau tau sendiri kan, aku bisa memakai mantera Inderasuper
untuk itu”
Kembali ke peron, mereka menemukan Lily dan Hugo, adik Rose, sedang asyik
mendiskusikan ke dalam asrama mana mereka akan diterima kalau nanti mereka masuk
Hogwarts.
“Kalau kau nggak masuk Gryffindor, kau nggak akan dapat warisan”, kata Ron, “Tapi
nggak ada paksaan kok…”
“Ron!”
Lily dan Hugo tertawa, tapi Albus terlihat tenang. “Dia cuma bercanda”, kata Hermione dan
Ginny, tapi Ron sudah tak memperhatikan lagi. Dia menangkap tatapan Harry dan
mengangguk tak kentara ke sebuah titik 50 yard jauhnya. Untuk sesaat uap menipis dan tiga
orang terlihat berdiri jelas di tengah kabut yang bergerak.
“Lihat siapa itu”
Draco Malfoy berdiri di sana bersama istri dan puteranya, mantel berwarna gelap terkancing
sampai lehernya. Rambutnya terlihat menipis, makin menonjolkan dagu tajamnya. Anak
lelaki yang baru itu mirip Draco, mengimbangi kemiripan Albus dengan Harry. Draco
menyadari keberadaan Harry, Ron dan Hermione, dan Ginny menatapnya, mengangguk
singkat dan berpaling.
“Jadi itu si kecil Scorpius”, kata Ron pelan. “Pastikan kau menang melawan dia dalam
setiap ujian, Rosie. Sukurlah kau mewarisi otak ibumu”
“Astaga Ron!” kata Hermione dengan suara tegas bercampur senang. “Jangan kau bikin
mereka jadi musuh, masuk sekolah saja belum!”
“Maaf, kau benar”, kata Ron, tapi tanpa bisa menahan diri menambahkan, “Tapi jangan
terlalu akrab dengan dia, Rosie. Kakek Weasley nggak akan pernah memaafkan kalau kau
kawin dengan darah-murni”
“Hey!”
James muncul kembali, terbebas dari koper, burung hantu dan trolinya, dan jelas-jelas
bersiap mengabarkan sesuatu.
“Teddy sudah kembali ke sana” katanya dengan nafas terengah sambil menunjuk lewat
bahunya ke arah gumpalan uap. “Aku baru lihat dia. Dan coba tebak dia lagi ngapain?
Merayu Victoire!”
Dia memandangi para orang dewasa itu, jelas kecewa dengan minimnya tanggapan mereka.
“Teddy! Teddy Lupin!” Merayu Victoire! Sepupu kita! Dan aku tanya dia lagi ngapain –“
“Kau mengganggu mereka?” kata Ginny. “Kau ini mirip sekali dengan Ron -”
“- dan dia bilang dia mau mengantar kepergian Victoire! Terus dia suruh aku pergi. Dia
merayunya!” James menambahkan seakan ucapanny atadi masih belum jelas.
“Oh, baik sekali kalau mereka menikah!” Lily berbisik senang. “Teddy betul-betul akan jadi
keluarga kita!”
“Dia sudah datang makan malam kira-kira empat kali seminggu”, kata Harry, “Kenapa tidak
kita tuntaskan saja dengan mengundangnya tinggal di rumah?”
“Yeah!” kata James dengan antusias. “Aku nggak keberatan sekamar dengan Al – Teddy
bisa pake kamarku!”
“Tidak” kata Harry tegas. “Kau hanya boleh sekamar dengan Al kalau aku ingin rumah kita
dihancurkan”
Dia memeriksa jam tangan tuanya yang dulu adalah milik Fabian Prewett.
“Sudah hampir jam 11, sebaiknya kalian naik”
“Jangan lupa sampaikan salam sayang kami kepada Neville!” Ginny memberitahu James
sambil memeluknya.
“Ma, aku nggak bisa menyampaikan salam sayang kepada seorang professor!”
“Tapi kau kan kenal Neville –“
James memutar-mutar matanya.
“Di luar, ya, tapi di sekolah dia adalah Professor Longbottom bukan? Aku nggak bisa masuk
kelas Herbologi terus menyampaikan salam sayan…”
Dia mengeleng-geleng membayangkan kebodohan ibunya lalu melampiaskan perasaannya
dengan berpura-pura hendak menendang Albus.
“Sampai nanti, Al. hati-hati dengan thestral”
“Lho, bukannya mereka nggak kasat mata? Kau bilang mereka nggak terlihat!” tapi James
Cuma tertawa, membiarkan ibunya menciumnya, memeluk ayahnya, dan melompat ke
dalam kereta yang cepat penuh. Mereka melihatnya melambai, lalu berlari ke koridor
mencari teman-temannya.
“Kau tak perlu takut dengan thestral”, Harry memberitahu Albus. “Mereka lembut, tak ada
yang perlu ditakuti. Lagipula kau tak akan pergi ke sekolah naik kereta, tapi naik perahu”
Ginny memberi Albus ciuman perpisahan.
“Sampai jumpa di hari Natal”
“Bye Al” kata Harry ketika puteranya itu memeluknya. “Jangan lupa Hagrid
mengundangmu minum teh Jumat nanti. Jangan macam-macam dengan Peeves. Jangan
berduel dengan siapapun sebelum belajar caranya. Dan jangan biarkan James mengerjaimu”
“Bagaimana kalau aku masuk Slytherin?”
Bisikan itu hanya ditujukan buat ayahnya, dan Harry tahu bahwa hanya momen perpisahan
inilah yang memaksa Albus mengungkapkan betapa besar rasa takutnya akan hal itu.
Harry berjongkok sehingga wajahnya sedikit lebih rendah dari wajah Albus. Dari ketiga
anak Harry, hanya Albus yang mewarisi mata Lily.
“Albus Severus”, kata Harry dengan pelan supaya tak serangpun kecuali Giny mendengar,
dan dia maklum lalu berpura-pura melambai kepada Rose yang sudah di atas kereta, “kau di
beri nama seperti nama dua kepala sekola Hogwarts. Satunya adalah Slytherin dan dia
mungkin adalah orang paling berani yang aku tahu”
“Tapi misalnya aku masuk –“
“- lalu asrama Slytherin akan mendapat seorang murid hebat bukan? Tidak akan jadi
masalah buat kami, Al. Tapi kalau itu penting buatmu, kau akan bisa memilih Gryffindor
dibanding Slytherin. Topi Seleksi memeperhitungkan pilihanmu juga”
“Benar begitu?”
“Waktu aku dulu, begitu”, kata Harry.
Dia belum pernah menceritakan hal itu kepada anak-anaknya sebelumnya, dan dia melihat
rasa takjub di wajah Albus ketika dia mengucapkan hal itu. Tapi kini pintu-pintu mulai
terbanting tertutup sepanjang kereta merah tua itu, dan para orang tua maju melemparkan
ciuman terakhir, tanda peringatan terakhir. Albus melompat ke dalam kereta dan Ginny
menutup pintu di belakangnya. Para siswa bergantungan di jendala. Wajah-wajah, baik yang
di dalam maupun di luar kereta seolah-oleh berpaling ke arah Harry.
“Kenapa mereka semua memandangi kita?” tanya Albus ketika dia dan Rose menjulurkan
leher memandangi siswa-siswa lainnya.
“Nggak usah dirisaukan”, kata Ron. “Aku yang mereka pandangi. Aku sangat terkenal”
Albus, Rose, Hugo dan Lily tertawa. Kereta mulai bergerak dan Harry berjalan di sisinya,
memperhatikan wajah kurus anaknya yang penuh dengan kegembiraan. Harry terus
tersenyum dan melambai, meski agak berat hatinya melihat anaknya menjauh darinya…
Jejak uap yang terakhir menguap di udara musim semi. Kereta membelok di tikungan.
Tangan Harry masih melambaikan salam perpisahan.
“Dia akan baik-baik saja”, gumam Ginny.
Sambil menatapnya, tanpa sadar Harry menurunkan tangannya dan menyentuh bekas luka
berbentuk petir di dahi.
“Iya, aku tahu”
Luka itu sudah tidak menyakitkan lagi selama 19 tahun. Semuanya baik-baik saja.
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar